Jumat, 03 Desember 2010

Harvest Moon Fanfic (Chapter 11 - Mis-Understanding)

“Hei, kita mau kemana?”

Aku terus mengajukan pertanyaan padanya, namun tiada satupun jawaban terbersit dari muka beningnya itu, yang selalu dapat menyentuh hatiku. Indah nan tegar, bagaikan bunga yang tumbuh pada batang pohon yang kuat.
Sebanyak apapun aku bertanya, mulutnya tetap terkunci rapat. Wajahnya yang menghanyutkan itu tetap terlihat kuat di mataku, namun itu semua tidaklah cukup untuk mengalihkan perhatianku. Aku tetap penasaran apa yang dia ingin lakukan denganku. Apakah suatu urusan? Ataukah ada suatu hal? Yang pasti tak mungkin tanpa alasan.

Dia berhenti di tengah jalan yang sepi, selalu sepi. Memandangku. Dan meskipun aku masih dapat menjaga rasa penasaran yang menggebuk hati, namun wajahnya makin mendekatiku hingga hembusan nafasnya terasa menyapu wajahku, merasuk ke dalam telinga dan berkata bahwa dia ingin mengatakan sesuatu padaku. Kemudian dengan lembut dia menyentuh dahiku, sebelum kembali berbalik.

Apa, kataku?

Tak terjawab, karena mulut Elli bukanlah hatinya yang berkata jujur. Mulut lebih suka kebohongan yang renyah. Dan dia kembali berjalan menarikku, hanya saja tidak secepat sebelumnya. Hanya berjalan, tidak lebih. Namun seolah menyadari sesuatu, dia kembali berlari. Aku bersusah payah mengejarnya hingga ia tiba di depan sebuah klinik. Klinik tempatnya bekerja.

Ada apa ini? Apa dia butuh pertolonganku? Apa ada seseorang yang terluka parah? Apa? Aku tak tahu. Keraguan ini menanjak saat ia membuka pintu klinik itu, bau kayunya terasa menggapai hidungku menandakan pintu itu atau klinik itu masih cukup baru. Namun, setelah terbuka bau kayu digantikan bau obat. Keduanya berebutan meminta perhatian hidungku.

Dan bau-bau tersebut menghilang, tersingkap oleh kata-kata yang diteriakkan Elli :

“Dokteeer!”

Dokter? Oh ya, setiap klinik pasti mempunyai dokter. Seraya memanggil dokter itu, Elli menghilang ke atas tangga menuju lantai dua, meninggalkanku sendiri. Aku melihat sekeliling, dan rupanya klinik ini cukup tertata rapi. Bersih, dengan tegel putih mengkilap. Beberapa kursi yang bisa kau sering lihat di rumah sakit atau apotik menghiasi bagian kiri, dekat dengan tembok. Tanaman tertata dengan rapih dan seimbang. Sepertinya Elli berbakat dalam tata ruang. Dan seperti klinik-klinik lainnya, ada meja resepsi dengan laci berisi kartu pasien dan ruang praktek ditutup tirai biru muda. Di sebelah kanan terletak lemari obat, baunya menyeruak dan memaksa masuk ke hidung.

Entah mengapa, tubuhku menggigil. Cukup hebat juga. Rasanya bau obat ini menggelitiki tubuhku, yang selalu takut akan bau obat. Merasuk ke dalam tubuh, membuatku teringat akan suntikan yang pernah kubenci saat aku masih anak-anak. Kuperhatikan kembali tangga menuju lantai dua itu, dan membiarkan pikiranku bergerak sesuka hati membuat imajinasi sendiri. Namun aku tak memikirkan apa-apa. Lagipula apa yang harus kupikirkan?

Suara derap langkah kaki manusia terdengar dari anak tangga yang bergetar kecil. Sepertinya Elli sedang turun bersama dokter itu. Benar saja, mereka berdua terlihat. Elli di depan dokter itu, yang langsung berjalan terus dan duduk di meja resepsi. Dokter itu berwajah lugas dan sopan, terlihat tenang dan lebih muda dari usianya. Badannya cukup tegap walaupun baju dokternya yang terlalu besar membuatnya terlihat agak lucu. Sebuah stetoskop tergantung di lehernya.

“Jadi dia? Kenapa dengannya?” tanyanya kepada Elli.
“Aku merasakan gejala yang tidak enak padanya. Tolong periksa.” Jawab Elli.

Periksa? Siapa? Aku? Hei, aku ini sehat-sehat saja! Mungkin memang kemarin aku agak batuk dan sekarang masih kedinginan, tapi diluar itu aku baik-baik saja! Ada apa ini?

“Baiklah. Er.. Jack? Ikut aku ke ruang praktek.” Dengan tenang, dokter itu berkata dan langsung melangkah menuju ruang praktek.

Terpaksa aku mengikutinya, membuka tirai dan menyingkap ruangan tersebut. Ruangan itu juga serapih bagian klinik lainnya, terdapat sebuah ranjang putih dengan selimut putih dan bantal putih. Khas klinik. Dan juga di sebuah meja tertumpuk peralatan-peralatan untuk memeriksa pasien, dari pengukur tekanan darah hingga senter kecil untuk melihat ke dalam tenggorokan. Poster-poster kesehatan tertempel di dinding, mengenai bagian tubuh manusia dan bahaya merokok.

Saat aku masuk, ia langsung menyuruhku berbaring. Aku tak punya pilihan lain selain menurut. Dokter selalu punya karisma yang menundukkan setiap orang agar menurutinya. Mungkin karena urusan hidup dan mati tak mungkin diabaikan semua orang, secara alami sesuai kodrat manusia. Dokter itu dengan tenang langsung menyentuh dahiku, sebelum kemudian melanjutkan pemeriksaan dengan memintaku membuka baju dan menempelkan stetoskopnya itu di dadaku. Berkali-kali ia menempelkan di titik yang sama, kemudian berganti ke titik lain. Dan setelah itu ia menyuruhku berbalik, dan melanjutkan proses yang sama di punggungku.

Entah mengapa, aku selalu merasa gugup dan tegang jika diperiksa seorang dokter.

“Kapan selesainya?” tanyaku, penuh kekhawatiran.

Dia tidak menjawab, dan meneruskan hingga dirasa cukup dan menyuruhku kembali memakai bajuku. Dia lalu duduk di kursinya dan mencatat sesuatu dengan tulisan yang sulit dimengerti dan terkesan terburu-buru.

“Jack, ya? Anda sepertinya terkena demam ringan, tapi jika tidak ditangan-”

Tiba-tiba, kesadaranku menghilang. Kenapa aku tidak merasakannya?

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

“Jack!”

Suara Elli yang lembut membangunkanku. Tubuhku terasa seperti besi tua yang berat dan keropos. Aku merasakan panas yang tidak normal, terutama di bagian dahiku. Sepertinya memang aku sedang tidak sehat. Namun mengapa aku tak bisa merasakannya sedikit pun tadi?

“Obatnya sudah kubungkus. Kamu sekarang harus pulang, banyak istirahat dan hentikan pekerjaan sementara waktu ini. Semua obatnya diminum tiga kali sehari sesudah makan.”
“Ya, dok.” Wajah lugas dokter itu agak menutupi kasih sayang yang terletak dalam suaranya yang khawatir itu.
“Jack, cepat sehat! Aku tadi sepertinya terlambat membawamu kesini..”
“Tidak apa-apa, Elli. Malah, aku berterima kasih karena kau telah menolongku.” Kutunjukkan senyuman kecil padanya, dan tiba-tiba saja wajahnya memerah.

Sepertinya rencanaku terhalang untuk beberapa lama.

0 komentar:

Blogger Statistic

Blog Teman

Hell Crew

About Me

Foto Saya
Deny Saputra
A player of world, nerd, disguiser, and a scholar of SMAN 12 Jakarta. For further information: denyjfp@gmail.com
Lihat profil lengkapku