Senin, 01 November 2010
Harvest Moon Fanfic (Chapter 9 - You Know, You Know)
Kembali bangun di pagi hari. Sepertinya memang semua aktivitas dimulai dari pagi hari. Kodrat manusia yang sudah disusun sejak awal, entah siapa yang menyusun. Karena manusia adalah seperti buku-buku yang sudah ditulisi riwayat hidupnya oleh sang pemilik buku, dikeluarkan dari rak, dan dikembalikan lagi pada rak. Siklus kehidupan memang banyak sekali penggambarannya, analoginya.
Aku banyak menghabiskan waktuku untuk berpikir, memikirkan apa hal yang sudah kulakukan sebelumnya. Meskipun, sekarang tidak kubiasakan lagi karena sekarang aku harus, tidak bisa tidak berpikir dengan cepat. Seorang petani, terutama pada awal musim tanam tidak boleh berleha-leha dalam menentukan tanaman apa yang akan ditanam. Apalagi untuk mendapatkan uang.
Sampai saat ini aku masih merugi. Bagaimana caranya aku mendapat uang cepat? Sementara lahan baru kubuka sedikit, dan tanaman yang baru kutanam juga sedikit. Orang sepertiku memang selalu bicara lebih dahulu sebelum bertindak. Terlalu termakan sugesti dan bayangan, impian yang masih di ujung langit namun karena sebuah fatamorgana bernama ambisi serasa berada di ujung bulu mata.
Tapi.. sebenarnya tidaklah buruk berada di tengah-tengah hidup desa yang lambat dan santai, selama kau bisa membawa dirimu sendiri untuk menikmatinya. Seperti biasa, rutinitas pagi yang tak usah kujelaskan lagi detailnya, kemudian langsung bekerja di ladang. Kusabit ilalang yang bertebaran dan kusirami tanaman. Setelah itu.. selesai, semua selesai. Aku masih punya banyak waktu tapi tanpa uang. Waktu adalah uang, ironis.
Berarti aku ini orang kaya. Kaya hati, kaya waktu namun tidak kaya materi. Dan.. hei, apa tujuanku kesini? Bukankah untuk mencari siapakah pendamping hidupku, lalu hidup dengan tenang disini? Aku harus secepatnya mencari, siapa dia sebenarnya. Tapi setelah kupikirkan.. apakah penting? Tidak, aku harus fokus. Hanya saja.. mungkin aku bisa temui Walikota untuk mengetahui usia gadis-gadis itu, agar aku bisa tahu siapa, siapakah yang berjanji denganku.
Tanpa banyak berlama-lama, aku langsung bergegas ke rumah Walikota. Tiba dengan cepat, kuketuk pintu rumahnya. Dia sendiri yang membuka.
“Oh, Jack? Ada apa?”
“Aku ingin tahu.. usia orang-orang yang tinggal disini.”
“Untuk apa?” sebercak keheranan menodai wajahnya saat ia bertanya.
Kuceritakan maksudku, berharap dia tahu. Dia hanya membalas dengan tawa kecil dan izin untuk melihat semua data penduduk Mineral Town. Kulihat semua, dan kulihat : semua gadis itu masih berusia sama, 18 tahun, kecuali Mary yang baru berusia 17 tahun dan Karen yang sudah 20 tahun.
Apakah Karen orangnya? Tapi bahkan Mary pun masih memiliki kesempatan. 5 tahun itu cukup untuk mengingat sesuatu. Sial, kenapa ingatan masa kecil pasti selalu samar-samar? Sudahlah, tak ada yang bisa kulakukan soal ini. Sekarang, yang bisa kulakukan hanya menanyai mereka satu persatu. Ya, menanyai mereka satu persatu! Pasti mereka tahu! Kenapa tidak terbersit di pikiranku saat aku pertama menemui mereka?
Kemudian aku langsung berlari menuju rumah mereka satu persatu. Urutan? Sepertinya yang paling dekat lebih dulu. Popuri. Aku berlari menuju Poultry Farm, dan dia sudah menyambutku. Hanya saja sambutannya bukan sambutan yang kubayangkan.
“Kamu telat, Jack? Sampai lari-lari begitu?”
Telat? Tidak mungkin. Ada apa sebenarnya?
“Hah? Telat?” tanyaku, dengan segenggam keheranan terbungkus dalam nada suaraku.
“Kamu tidak tahu? Hari ini festival ayam. Ayam-ayamku sudah dibawa Rick kesana. Mana ayammu?” di atas kertas terlihat sinis namun pada kenyataannya terdengar manja.
“Aku.. aku tidak punya ayam.”
“Oh. Gak apa-apa, ayo ikut denganku ke Rose Square.” Tanpa menunggu persetujuan dia menarik tanganku.
Kami tiba di Rose Square. Disana ternyata sudah banyak orang, hampir semua penduduk Mineral Town. Aku harus bergerak cepat. Semua orang ada disini, termasuk gadis-gadis itu. Aku bisa menanyai mereka sekaligus! Pertama-tama Popuri, yang paling dekat.
“Popuri, apa kamu ingat pernah berjanji denganku.. 12 tahun yang lalu?”
“Eh?” jelas saja dia kaget.
“Aku serius.”
“Hmm.. aku tidak bisa ingat.”
Baguslah, dia memberikan jawaban seperti itu. Dibandingkan memberi jawaban yang tidak pasti. Oh, sungguh benci aku pada jawaban seperti itu. Hanya memberikan rasa penasaran yang tidak pasti bagiku, membuatku gelisah dan tidak tenang. Kutanyai Ann sekarang.
“Aku..” dia diam sebentar sebelum menjawab, “Aku tidak ingat.”
Satu lagi kucoret dari daftar. Sekarang Mary. Kuhampiri dia, ternyata dia sedang membaca sebuah buku. Kutanyai dia. Satu kali, dia tidak menjawab. Dua kali, dia membenamkan kepalanya dalam buku itu. Cih. Tiga kali, kusambar bukunya hingga akhirnya dia menjawab.
“Aku..tidak tahu. Tidak pernah.”
Hmm, satu lagi yang dicoret. Berikutnya tinggal Elli dan Karen. Sebaiknya kutanyai Elli lebih dulu. Apa aku menaruh harapan padanya? Mungkin saja, aku tidak bisa katakan. Namun, jawaban yang dia berikan tidak seperti perkiraanku.
“Rasanya tidak.”
Tinggal Karen yang tersisa, tapi aku tidak percaya. Dia bersikap galak padaku, dan itu sudah cukup untuk membuatku agak sulit berkomunikasi dengannya. Meskipun ada kalanya dia bersikap baik. Tapi coba saja. Apakah benar dia? Kuhampiri dia, namun belum sempat kuucapkan sepatah kata dia sudah memberondongku dengan kata-katanya.
“Oh, Jack. Mau apa?” sejenak aku merasa ingin mundur, namun kuberanikan diri untuk bertanya.
“Karen, apa kau pernah berjanji dengan seseorang saat kau kecil.. bahwa kau akan menikahinya?”
Diam sebentar. Tiba-tiba wajahnya memerah, membuatnya tampak malu namun tetap cantik bagaikan apel merah yang manis.
“A-apa katamu? Berjanji denganmu? Tidak! Tidak pernah! Dasar mesum!” dan seperti biasanya dia langsung menendangku tepat di perut.
Lagi-lagi aku berlutut kesakitan. Dia langsung pergi, mungkin karena malu. Tapi sekarang aku tahu siapa yang berjanji denganku. Masalah selanjutnya adalah bagaimana dia bisa jujur pada dirinya sendiri.
Aku banyak menghabiskan waktuku untuk berpikir, memikirkan apa hal yang sudah kulakukan sebelumnya. Meskipun, sekarang tidak kubiasakan lagi karena sekarang aku harus, tidak bisa tidak berpikir dengan cepat. Seorang petani, terutama pada awal musim tanam tidak boleh berleha-leha dalam menentukan tanaman apa yang akan ditanam. Apalagi untuk mendapatkan uang.
Sampai saat ini aku masih merugi. Bagaimana caranya aku mendapat uang cepat? Sementara lahan baru kubuka sedikit, dan tanaman yang baru kutanam juga sedikit. Orang sepertiku memang selalu bicara lebih dahulu sebelum bertindak. Terlalu termakan sugesti dan bayangan, impian yang masih di ujung langit namun karena sebuah fatamorgana bernama ambisi serasa berada di ujung bulu mata.
Tapi.. sebenarnya tidaklah buruk berada di tengah-tengah hidup desa yang lambat dan santai, selama kau bisa membawa dirimu sendiri untuk menikmatinya. Seperti biasa, rutinitas pagi yang tak usah kujelaskan lagi detailnya, kemudian langsung bekerja di ladang. Kusabit ilalang yang bertebaran dan kusirami tanaman. Setelah itu.. selesai, semua selesai. Aku masih punya banyak waktu tapi tanpa uang. Waktu adalah uang, ironis.
Berarti aku ini orang kaya. Kaya hati, kaya waktu namun tidak kaya materi. Dan.. hei, apa tujuanku kesini? Bukankah untuk mencari siapakah pendamping hidupku, lalu hidup dengan tenang disini? Aku harus secepatnya mencari, siapa dia sebenarnya. Tapi setelah kupikirkan.. apakah penting? Tidak, aku harus fokus. Hanya saja.. mungkin aku bisa temui Walikota untuk mengetahui usia gadis-gadis itu, agar aku bisa tahu siapa, siapakah yang berjanji denganku.
Tanpa banyak berlama-lama, aku langsung bergegas ke rumah Walikota. Tiba dengan cepat, kuketuk pintu rumahnya. Dia sendiri yang membuka.
“Oh, Jack? Ada apa?”
“Aku ingin tahu.. usia orang-orang yang tinggal disini.”
“Untuk apa?” sebercak keheranan menodai wajahnya saat ia bertanya.
Kuceritakan maksudku, berharap dia tahu. Dia hanya membalas dengan tawa kecil dan izin untuk melihat semua data penduduk Mineral Town. Kulihat semua, dan kulihat : semua gadis itu masih berusia sama, 18 tahun, kecuali Mary yang baru berusia 17 tahun dan Karen yang sudah 20 tahun.
Apakah Karen orangnya? Tapi bahkan Mary pun masih memiliki kesempatan. 5 tahun itu cukup untuk mengingat sesuatu. Sial, kenapa ingatan masa kecil pasti selalu samar-samar? Sudahlah, tak ada yang bisa kulakukan soal ini. Sekarang, yang bisa kulakukan hanya menanyai mereka satu persatu. Ya, menanyai mereka satu persatu! Pasti mereka tahu! Kenapa tidak terbersit di pikiranku saat aku pertama menemui mereka?
Kemudian aku langsung berlari menuju rumah mereka satu persatu. Urutan? Sepertinya yang paling dekat lebih dulu. Popuri. Aku berlari menuju Poultry Farm, dan dia sudah menyambutku. Hanya saja sambutannya bukan sambutan yang kubayangkan.
“Kamu telat, Jack? Sampai lari-lari begitu?”
Telat? Tidak mungkin. Ada apa sebenarnya?
“Hah? Telat?” tanyaku, dengan segenggam keheranan terbungkus dalam nada suaraku.
“Kamu tidak tahu? Hari ini festival ayam. Ayam-ayamku sudah dibawa Rick kesana. Mana ayammu?” di atas kertas terlihat sinis namun pada kenyataannya terdengar manja.
“Aku.. aku tidak punya ayam.”
“Oh. Gak apa-apa, ayo ikut denganku ke Rose Square.” Tanpa menunggu persetujuan dia menarik tanganku.
Kami tiba di Rose Square. Disana ternyata sudah banyak orang, hampir semua penduduk Mineral Town. Aku harus bergerak cepat. Semua orang ada disini, termasuk gadis-gadis itu. Aku bisa menanyai mereka sekaligus! Pertama-tama Popuri, yang paling dekat.
“Popuri, apa kamu ingat pernah berjanji denganku.. 12 tahun yang lalu?”
“Eh?” jelas saja dia kaget.
“Aku serius.”
“Hmm.. aku tidak bisa ingat.”
Baguslah, dia memberikan jawaban seperti itu. Dibandingkan memberi jawaban yang tidak pasti. Oh, sungguh benci aku pada jawaban seperti itu. Hanya memberikan rasa penasaran yang tidak pasti bagiku, membuatku gelisah dan tidak tenang. Kutanyai Ann sekarang.
“Aku..” dia diam sebentar sebelum menjawab, “Aku tidak ingat.”
Satu lagi kucoret dari daftar. Sekarang Mary. Kuhampiri dia, ternyata dia sedang membaca sebuah buku. Kutanyai dia. Satu kali, dia tidak menjawab. Dua kali, dia membenamkan kepalanya dalam buku itu. Cih. Tiga kali, kusambar bukunya hingga akhirnya dia menjawab.
“Aku..tidak tahu. Tidak pernah.”
Hmm, satu lagi yang dicoret. Berikutnya tinggal Elli dan Karen. Sebaiknya kutanyai Elli lebih dulu. Apa aku menaruh harapan padanya? Mungkin saja, aku tidak bisa katakan. Namun, jawaban yang dia berikan tidak seperti perkiraanku.
“Rasanya tidak.”
Tinggal Karen yang tersisa, tapi aku tidak percaya. Dia bersikap galak padaku, dan itu sudah cukup untuk membuatku agak sulit berkomunikasi dengannya. Meskipun ada kalanya dia bersikap baik. Tapi coba saja. Apakah benar dia? Kuhampiri dia, namun belum sempat kuucapkan sepatah kata dia sudah memberondongku dengan kata-katanya.
“Oh, Jack. Mau apa?” sejenak aku merasa ingin mundur, namun kuberanikan diri untuk bertanya.
“Karen, apa kau pernah berjanji dengan seseorang saat kau kecil.. bahwa kau akan menikahinya?”
Diam sebentar. Tiba-tiba wajahnya memerah, membuatnya tampak malu namun tetap cantik bagaikan apel merah yang manis.
“A-apa katamu? Berjanji denganmu? Tidak! Tidak pernah! Dasar mesum!” dan seperti biasanya dia langsung menendangku tepat di perut.
Lagi-lagi aku berlutut kesakitan. Dia langsung pergi, mungkin karena malu. Tapi sekarang aku tahu siapa yang berjanji denganku. Masalah selanjutnya adalah bagaimana dia bisa jujur pada dirinya sendiri.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Blogger Statistic
Label
- --Saikoo Experience-- (37)
- Awesome Things (48)
- Cerita (18)
- My Fanfic (16)
- My Info (27)
- My Lyrics (10)
- My Poem (8)
- Nyolot :D (22)
- Something (3)
Blog Teman
Re-Writeless
Meaningless article, but useful in the future
Hell Crew
About Me
- Deny Saputra
- A player of world, nerd, disguiser, and a scholar of SMAN 12 Jakarta. For further information: denyjfp@gmail.com
0 komentar:
Posting Komentar