Sabtu, 20 November 2010
Harvest Moon Fanfic (Chapter 10 - Riding The Scree)
Tiga hari berlalu dengan cepat. Aku masih belum bertindak lebih jauh semenjak “pengakuan” Karen waktu itu. Kulelehkan kekhawatiranku menjadi keringat dengan menggarap lahan, tanpa tahu apa yang harus kulakukan. Hanya ketenangan ladangku yang menemani disaat malam tiba.
Sial, aku jadi makin banyak memikirkan dia. Tapi aku memang harus memikirkan dia. Dan kenapa harus Karen? Bukan Elli atau yang lainnya? Kenapa harus si galak itu? Takdir memang bisa jahat. Dan kebetulan saja aku yang terkena getahnya. Sungguh terlalu. Tapi tidak, aku harus tetap berjalan dan berjalan. Lagipula aku ini laki-laki, aku harus bisa menaklukkan wanita.
Aku harus bisa mendekatinya. Memangnya bagaimana lagi? Tiada pertanyaan tanpa jawaban, dan keputusan ini sudah bulat. Aku akan mendekatinya, agar dia mencintaiku. Perasaanku? Sebenarnya aku suka padanya, tapi aku juga suka pada orang lain. Ah sudahlah, pilihan memang harus dibuat. Lalu tunggu apa lagi?
Setelah berdandan aku langsung pergi ke toko tempat Karen berada. Bagaimana caranya aku mendekatinya? Mungkin.. kita bisa mulai dari hal-hal yang kecil. Sedikit bicara dan mungkin membantu orangtuanya disana bisa membantu untuk membuatku lebih dekat. Hmm hmm. Bagus. Terus melangkah, hingga akhirnya tiba di depan toko mungil itu. Terpintas di pikiran bagaimana toko ini akan menjadi rumah cintaku. Ah, tidak, terlalu tidak senonoh.
Setelah beberapa lama berjalan, tibalah pula aku di toko kecil itu. Aku langsung masuk dan ternyata di dalam hanya ada Jeff, ayah Karen yang menunggui kasir. Hanya satu hal yang harus kulakukan, aku tak bisa mundur.
“Jeff, bisakah aku kerja sambilan disini?”
Dia langsung terkejut. Jelas.
“Untuk apa?”
“Eng… sebenarnya aku sedang kurang uang.. dan..”
Dia hanya diam, beberapa lama. Terus diam. Hanya diam, hingga Sasha istrinya datang. Dengan muka tidak senang. Sepertinya ia mendengar percakapan kami dari belakang.
“Jeff, apa apaan ini? Sudah terima saja Jack kerja disini! Kamu selalu saja memikirkan uang!”
Seperti biasa, dia selalu marah-marah, khas wanita seusianya. Untungnya dia baik padaku.
“Tapi, bagaimana dengan toko kita…” Jeff masih membantah sebelum ucapannya terpotong oleh pandangan mata Sasha yang menohok.
“..Baiklah.”
Akhirnya. Sekarang aku tahu kenapa ibu selalu disebut malaikat hidup. Aku tidak pernah merasakan kebaikan seorang ibu, jadi dulu aku tidak tahu. Dan sekarang aku tahu bagaimana seorang ibu berbaik hati pada setiap orang, bahkan yang bukan anaknya sendiri. Nikmat sekali. Satu langkah lebih maju!
“Terima kasih banyak!” kataku sembari membungkuk penuh hormat pada mereka berdua.
Dan akhirnya aku bekerja sambilan disana. Pekerjaanku? Menjaga kasir (terutama saat Jeff pergi ke dokter atau restoran), menyapu halaman atau membereskan rak. Uang yang kuterima sedikit, tapi peduli setan, aku sebenarnya punya banyak uang warisan dan bekal dari tempatku dulu di rumah. Ini hanya strategi taktis saja.
Tapi hari sudah mulai sore, dan Karen tak nampak. Aku menyapu halaman yang kotor, menunggunya di depan pintu dan berpikir. Apa yang kulakukan saat ini sungguh pantas untuk ditertawakan. Sebenarnya lucu sekali sampai seperti ini aku berjuang. Rasanya dulu aku ini orang yang malas, tidak seperti ini. Hahahahaha.
“Kenapa kau ada di sini? L-lagian ketawa sendiri lagi! Terus bawa sapu! Apa-apaan ini?”
Ternyata dia sudah datang.
“Karen! Dari mana saja?” sepertinya aku terlalu gembira.
“Apa maksudmu ‘dari mana saja’? Memangnya kau pemilik rumah ini? Dan jelaskan kenapa kau ada di sini sore-sore begini!”
Ah, kehangatan.
“Aku sekarang kerja sambilan disini.” Kataku, terkuasai kegembiraan.
“Apa? J-jangan bercanda! U-u-untuk apa?”
“Tentu saja untukmu.”
Dan Karen langsung menendang perutku. Oh, sialan. Nikmatnya tendangan penuh cinta. Dengan susah payah aku berdiri dan bertanya,
“Kenapa kau menendangku?”
“Dasar bodoh! Siapa yang tidak marah ka-kalau kau bicara begitu! Tolol!” kata-katanya pedas, namun mukanya amat merah. Sinyal baik.
Dia langsung pergi, masuk ke dalam rumah dengan terburu-buru. Sementara aku hanya bersiul-siul merdu. Lidahku terasa amat sangat manis, aneh sekali. Mungkin pepatah bahwa kemenangan itu manis harus diganti dengan cinta itu manis, untukku. Aku takkan lupa wajahnya yang sangat cantik saat memerah itu. Sangat sangat menawan. Oh, apakah aku sudah jatuh cinta padanya?
Tak ada yang tahu kecuali diriku sendiri.
Sial, aku jadi makin banyak memikirkan dia. Tapi aku memang harus memikirkan dia. Dan kenapa harus Karen? Bukan Elli atau yang lainnya? Kenapa harus si galak itu? Takdir memang bisa jahat. Dan kebetulan saja aku yang terkena getahnya. Sungguh terlalu. Tapi tidak, aku harus tetap berjalan dan berjalan. Lagipula aku ini laki-laki, aku harus bisa menaklukkan wanita.
Aku harus bisa mendekatinya. Memangnya bagaimana lagi? Tiada pertanyaan tanpa jawaban, dan keputusan ini sudah bulat. Aku akan mendekatinya, agar dia mencintaiku. Perasaanku? Sebenarnya aku suka padanya, tapi aku juga suka pada orang lain. Ah sudahlah, pilihan memang harus dibuat. Lalu tunggu apa lagi?
Setelah berdandan aku langsung pergi ke toko tempat Karen berada. Bagaimana caranya aku mendekatinya? Mungkin.. kita bisa mulai dari hal-hal yang kecil. Sedikit bicara dan mungkin membantu orangtuanya disana bisa membantu untuk membuatku lebih dekat. Hmm hmm. Bagus. Terus melangkah, hingga akhirnya tiba di depan toko mungil itu. Terpintas di pikiran bagaimana toko ini akan menjadi rumah cintaku. Ah, tidak, terlalu tidak senonoh.
Setelah beberapa lama berjalan, tibalah pula aku di toko kecil itu. Aku langsung masuk dan ternyata di dalam hanya ada Jeff, ayah Karen yang menunggui kasir. Hanya satu hal yang harus kulakukan, aku tak bisa mundur.
“Jeff, bisakah aku kerja sambilan disini?”
Dia langsung terkejut. Jelas.
“Untuk apa?”
“Eng… sebenarnya aku sedang kurang uang.. dan..”
Dia hanya diam, beberapa lama. Terus diam. Hanya diam, hingga Sasha istrinya datang. Dengan muka tidak senang. Sepertinya ia mendengar percakapan kami dari belakang.
“Jeff, apa apaan ini? Sudah terima saja Jack kerja disini! Kamu selalu saja memikirkan uang!”
Seperti biasa, dia selalu marah-marah, khas wanita seusianya. Untungnya dia baik padaku.
“Tapi, bagaimana dengan toko kita…” Jeff masih membantah sebelum ucapannya terpotong oleh pandangan mata Sasha yang menohok.
“..Baiklah.”
Akhirnya. Sekarang aku tahu kenapa ibu selalu disebut malaikat hidup. Aku tidak pernah merasakan kebaikan seorang ibu, jadi dulu aku tidak tahu. Dan sekarang aku tahu bagaimana seorang ibu berbaik hati pada setiap orang, bahkan yang bukan anaknya sendiri. Nikmat sekali. Satu langkah lebih maju!
“Terima kasih banyak!” kataku sembari membungkuk penuh hormat pada mereka berdua.
Dan akhirnya aku bekerja sambilan disana. Pekerjaanku? Menjaga kasir (terutama saat Jeff pergi ke dokter atau restoran), menyapu halaman atau membereskan rak. Uang yang kuterima sedikit, tapi peduli setan, aku sebenarnya punya banyak uang warisan dan bekal dari tempatku dulu di rumah. Ini hanya strategi taktis saja.
Tapi hari sudah mulai sore, dan Karen tak nampak. Aku menyapu halaman yang kotor, menunggunya di depan pintu dan berpikir. Apa yang kulakukan saat ini sungguh pantas untuk ditertawakan. Sebenarnya lucu sekali sampai seperti ini aku berjuang. Rasanya dulu aku ini orang yang malas, tidak seperti ini. Hahahahaha.
“Kenapa kau ada di sini? L-lagian ketawa sendiri lagi! Terus bawa sapu! Apa-apaan ini?”
Ternyata dia sudah datang.
“Karen! Dari mana saja?” sepertinya aku terlalu gembira.
“Apa maksudmu ‘dari mana saja’? Memangnya kau pemilik rumah ini? Dan jelaskan kenapa kau ada di sini sore-sore begini!”
Ah, kehangatan.
“Aku sekarang kerja sambilan disini.” Kataku, terkuasai kegembiraan.
“Apa? J-jangan bercanda! U-u-untuk apa?”
“Tentu saja untukmu.”
Dan Karen langsung menendang perutku. Oh, sialan. Nikmatnya tendangan penuh cinta. Dengan susah payah aku berdiri dan bertanya,
“Kenapa kau menendangku?”
“Dasar bodoh! Siapa yang tidak marah ka-kalau kau bicara begitu! Tolol!” kata-katanya pedas, namun mukanya amat merah. Sinyal baik.
Dia langsung pergi, masuk ke dalam rumah dengan terburu-buru. Sementara aku hanya bersiul-siul merdu. Lidahku terasa amat sangat manis, aneh sekali. Mungkin pepatah bahwa kemenangan itu manis harus diganti dengan cinta itu manis, untukku. Aku takkan lupa wajahnya yang sangat cantik saat memerah itu. Sangat sangat menawan. Oh, apakah aku sudah jatuh cinta padanya?
Tak ada yang tahu kecuali diriku sendiri.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Sudah seminggu berlalu sejak kejadian itu, dan tanda-tanda yang tampak makin jelas dan cerah. Dia suka padaku namun menutup-nutupinya dengan sikapnya yang pura-pura galak itu. Sangat mudah untuk dipecahkan, karena di balik cangkang yang keras itu tersembunyi hati yang murni. Rasanya aku pernah mendengar kalimat itu dari seseorang tapi dimana? Tak usah dipikirkan.
Aku memulai rutinitas baruku di pagi hari dan langsung pergi ke toko Jeff. Mungkin langkah-langkah maju itu menjadi lebih cepat sekarang, dan aku sudah sangat rindu padanya. Oh, indahnya hidup jika dilihat dari kacamata halusinasi cinta. Namun lamunanku dibuyarkan saat aku dihentikan seseorang di tengah jalan.
“Hai, Jack! Cepat ikut aku!”
“Elli? Ada apa ini?”
“Sudah, cepat!”
Apa apaan ini? Elli, jangan merusak rencanaku! Aku sudah menentukan pilihan! Ada apa ini? Hei, Elli! Aku memang suka padamu, namun tidak sebesar pada Karen! Sial, rencanaku terganggu kalau begini. Kemana pula dia ingin membawaku? Semoga saja bukan tempat yang buruk.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Blogger Statistic
Label
- --Saikoo Experience-- (37)
- Awesome Things (48)
- Cerita (18)
- My Fanfic (16)
- My Info (27)
- My Lyrics (10)
- My Poem (8)
- Nyolot :D (22)
- Something (3)
Blog Teman
Re-Writeless
Meaningless article, but useful in the future
Hell Crew
About Me
- Deny Saputra
- A player of world, nerd, disguiser, and a scholar of SMAN 12 Jakarta. For further information: denyjfp@gmail.com
0 komentar:
Posting Komentar