Senin, 23 Agustus 2010
Harvest Moon Fanfic (Chapter 5 - Grandmother Nurse)
Angin dingin berhembus menemaniku melanjutkan perjalanan. Rupanya cuaca disini sangat dingin, jauh lebih dingin dari kota tempat tinggalku dulu. Meskipun disini sedang musim semi, tapi rasanya masih seperti musim dingin saja. Aku masih harus membiasakan diri, beradaptasi dengan kehidupan disini. Kalau aku harus mengurus peternakan luas itu, cuaca seperti ini harusnya hanya rintangan kecil saja!
Ah, biarlah, biarkan saja. Setahap demi setahap, perlahan tapi pasti aku akan mengatasinya. Pikiranku terus berpindah dari satu hal ke hal lain mengiringiku berjalan selangkah demi selangkah. Rasanya seperti melamun sambil berjalan. Rasa kantuk mulai menguasai tubuh yang lelah ini, saat seorang gadis menyapaku dari belakang.
"Halo!"
Saat aku menoleh, rupanya sosok yang menyapaku itu seorang gadis yang terlihat seumuran denganku, berambut coklat pendek dan tingginya sepantaran denganku. Mungkinkah dia? Bisa jadi, bisa jadi tidak. Tapi sebaiknya saat ini aku berkenalan dengannya lebih dulu.
"Oh.. Hai."
"Maaf, aku tidak pernah melihatmu sebelumnya. Siapa kamu?"
"Aku Jack, pemilik baru Eden Farm. Dan kamu?" Aku mengulurkan tangan, dan tersenyum kecil.
"Aku.. aku Elli. Senang bertemu denganmu." Dia menerima uluran tanganku dan kami berjabat tangan. Wajahnya tersipu.
"Kamu tinggal disini?"
"Tentu saja, ini kota kecil! Kamu bisa berkenalan dengan semuanya dalam sehari! Kalau aku, aku tinggal di rumah itu, ayo, kalau mau ikut mampir sebentar." Ajaknya sambil menunjuk ke rumah di dekatku. Ternyata rumahnya dekat.
"Ah, iya."
Aku kemudian mengikuti Elli ke rumahnya. Dilihat dari dekat, rumahnya bukan rumah yang terbilang besar. Dari luar rumahnya cukup sederhana, dengan cat putih dan atap biru memberikan suasana pedesaan yang hangat. Halaman rumahnya kecil, namun tertata rapi dan asri. Mataku masih jelalatan kesana kemari saat Elli membuka pintu rumahnya.
"Ayo masuk, Jack."
Saat aku masuk ke rumahnya, sudah ada dua orang lain di dalam. Seorang nenek yang duduk di kursi goyang, dan seorang bocah kecil. Suasana di dalam rumah Elli agak mirip dengan rumah Mary di sebelah. Hanya tanpa tanaman aneh saja. Semoga orang-orang ini tidak seaneh keluarga Mary.
"Nek, Stu, ini Jack, pemilik baru Eden Farm."
"Halo, Jack. Kakekmu sungguh orang yang baik.."
"Ah, iya. Dia memang orang yang baik, nek."
"Hohoho, jangan panggil aku nek, aku bukan nenekmu. Panggil saja Ellen."
Nenek yang satu ini sangat ramah, meskipun cerewet seperti kebanyakan wanita tua lainnya. Meskipun tetap saja wajahnya memancarkan kehangatan layaknya seorang ibu.
"Hai, Jack. Jadi kamu pemilik barunya ya, kapan-kapan aku boleh main kan?"
"Ya, silakan saja. Kutunggu. Oh ya, namamu Stu kan?"
"Ya! Kapan-kapan kita main bersama ya!"
"Tentu, kalau aku ada waktu."
Anak ini juga sepertinya cukup normal, seperti kebanyakan bocah lainnya. Sekilas tidak ada tanda-tanda aneh padanya. Baguslah kalau begitu. Dengan cepat aku merasa nyaman disini dan akhirnya kami mengobrol untuk waktu yang cukup lama. Tanpa terasa, hari berganti menjadi siang dan Elli berangkat pergi.
"Hei, mau kemana?"
"Aku kan kerja di klinik, Jack, jadi aku harus berangkat."
"Jadi dokter?"
"Ahaha, tidak.. aku cuma jadi suster saja kok disana."
"Oh.. ah, hari sudah siang! Aku juga harus pergi lagi! Kalau begitu, Nek Ellen, Stu, aku pergi dulu!"
Aku meninggalkan mereka dan melanjutkan perjalananku. Setidaknya keluarga yang satu ini agak normal. Dan seharusnya yang lain juga seperti itu. Mungkin. Dan apakah Elli itu "dia"?
Bisa jadi, bisa jadi tidak. Ah, masih banyak yang harus kulakukan. Aku tahu aku tidak bisa lagi membuang waktuku, maka kulanjutkan perjalananku. Tapi memang mengunjungi mereka satu persatu terasa melelahkan. Apa tidak bisa mereka berkumpul di satu tempat?
Aku masih berjalan sebelum melihat sebuah rumah di dekat rumah Elli. Bentuknya mirip dengan rumah Elli, catnya juga berwarna sama. Tapi anehnya malah mengundang rasa penasaranku. Mungkin karena ini desa, jadi rumah yang mirip terasa aneh bagiku. Aku mencoba memasukinya dengan mengetuk pintu.
Tok! Tok! Tok!
Tak lama, seorang pria menyambutku.
"Ada tamu.. oh, Jack?"
Ternyata sang walikota sendiri, Thomas, membukakan pintunya untukku.
"Ah, Pak Walikota!"
"Aduh, Jack, tak usah memanggilku 'pak walikota', panggil saja aku Thomas."
"Eng.. ya, Thomas, kalau begitu. Ini rumahmu?"
"Tentu saja! Hohoho.. tidak mungkin seorang walikota tidak punya rumah kan? Ayo masuk sebentar!"
Aku masuk ke dalam rumahnya. Lagi-lagi, bagian dalam rumahnya mengingatkanku pada rumah Elli. Bedanya, yang ini lebih kecil dan tidak serapih rumah Elli. Ada tiga kamar lagi selain ruang depan yang merangkap ruang keluarga. Mungkin satunya tempat tidur, satu lagi kamar mandi.
"Harris, ada Jack disini!"
"Jack? Yang kau ceritakan kemarin itu?"
Seorang pria muncul dari kamar lain. Pria itu berperawakan jangkung, dan memakai sejenis seragam berwarna biru. Dia langsung mendekatiku dan mengulurkan tangannya, ingin berjabat tangan denganku.
"Kamu Jack kan? Aku Harris, anak Thomas."
"Ah, senang bertemu denganmu. Tapi.. aku penasaran kenapa kamu memakai seragam.. seperti itu."
"Ahaha, semua orang yang bertemu pertama kali denganku pasti bertanya hal itu kalau tidak kujelaskan. Aku disini semacam ajudan untuk ayahku, Thomas, merangkap wakil walikota, penjaga keamanan dan polisi patroli."
"Tugasmu banyak juga."
"Tidak, tidak begitu. Sebenarnya karena ini kota yang kecil, aku tidak kerepotan mengurusinya."
"Aku kagum padamu, bisa mengemban tugas itu tanpa mengeluh."
"Wah.. tidak usah terlalu memuji, kamu juga akan seperti aku kalau mencoba melakukannya."
Mendadak Thomas memotong, "Oh ya, Jack, kamu ingin ikut kami ke gereja? Semua warga sedang berkumpul disana."
"Memang ada apa?"
"Kamu lupa? Ini kan hari Minggu, jadi semua orang harus kesana."
Kesempatan bagus untuk mengenal semua warga kota... kalau begini aku tak perlu bersusah-susah mengunjungi rumah mereka satu persatu.
"Hmm.. baiklah. Kapan kita pergi?"
"Sekarang juga. Hari sudah hampir siang, kita harus bergegas."
"Kalau begitu, ayo."
Aku keluar duluan, diikuti Thomas dan Harris. Sepertinya mulai menarik.. apakah mungkin ada 'dia' disana? Bisa jadi, bisa jadi tidak..
Ah, biarlah, biarkan saja. Setahap demi setahap, perlahan tapi pasti aku akan mengatasinya. Pikiranku terus berpindah dari satu hal ke hal lain mengiringiku berjalan selangkah demi selangkah. Rasanya seperti melamun sambil berjalan. Rasa kantuk mulai menguasai tubuh yang lelah ini, saat seorang gadis menyapaku dari belakang.
"Halo!"
Saat aku menoleh, rupanya sosok yang menyapaku itu seorang gadis yang terlihat seumuran denganku, berambut coklat pendek dan tingginya sepantaran denganku. Mungkinkah dia? Bisa jadi, bisa jadi tidak. Tapi sebaiknya saat ini aku berkenalan dengannya lebih dulu.
"Oh.. Hai."
"Maaf, aku tidak pernah melihatmu sebelumnya. Siapa kamu?"
"Aku Jack, pemilik baru Eden Farm. Dan kamu?" Aku mengulurkan tangan, dan tersenyum kecil.
"Aku.. aku Elli. Senang bertemu denganmu." Dia menerima uluran tanganku dan kami berjabat tangan. Wajahnya tersipu.
"Kamu tinggal disini?"
"Tentu saja, ini kota kecil! Kamu bisa berkenalan dengan semuanya dalam sehari! Kalau aku, aku tinggal di rumah itu, ayo, kalau mau ikut mampir sebentar." Ajaknya sambil menunjuk ke rumah di dekatku. Ternyata rumahnya dekat.
"Ah, iya."
Aku kemudian mengikuti Elli ke rumahnya. Dilihat dari dekat, rumahnya bukan rumah yang terbilang besar. Dari luar rumahnya cukup sederhana, dengan cat putih dan atap biru memberikan suasana pedesaan yang hangat. Halaman rumahnya kecil, namun tertata rapi dan asri. Mataku masih jelalatan kesana kemari saat Elli membuka pintu rumahnya.
"Ayo masuk, Jack."
Saat aku masuk ke rumahnya, sudah ada dua orang lain di dalam. Seorang nenek yang duduk di kursi goyang, dan seorang bocah kecil. Suasana di dalam rumah Elli agak mirip dengan rumah Mary di sebelah. Hanya tanpa tanaman aneh saja. Semoga orang-orang ini tidak seaneh keluarga Mary.
"Nek, Stu, ini Jack, pemilik baru Eden Farm."
"Halo, Jack. Kakekmu sungguh orang yang baik.."
"Ah, iya. Dia memang orang yang baik, nek."
"Hohoho, jangan panggil aku nek, aku bukan nenekmu. Panggil saja Ellen."
Nenek yang satu ini sangat ramah, meskipun cerewet seperti kebanyakan wanita tua lainnya. Meskipun tetap saja wajahnya memancarkan kehangatan layaknya seorang ibu.
"Hai, Jack. Jadi kamu pemilik barunya ya, kapan-kapan aku boleh main kan?"
"Ya, silakan saja. Kutunggu. Oh ya, namamu Stu kan?"
"Ya! Kapan-kapan kita main bersama ya!"
"Tentu, kalau aku ada waktu."
Anak ini juga sepertinya cukup normal, seperti kebanyakan bocah lainnya. Sekilas tidak ada tanda-tanda aneh padanya. Baguslah kalau begitu. Dengan cepat aku merasa nyaman disini dan akhirnya kami mengobrol untuk waktu yang cukup lama. Tanpa terasa, hari berganti menjadi siang dan Elli berangkat pergi.
"Hei, mau kemana?"
"Aku kan kerja di klinik, Jack, jadi aku harus berangkat."
"Jadi dokter?"
"Ahaha, tidak.. aku cuma jadi suster saja kok disana."
"Oh.. ah, hari sudah siang! Aku juga harus pergi lagi! Kalau begitu, Nek Ellen, Stu, aku pergi dulu!"
Aku meninggalkan mereka dan melanjutkan perjalananku. Setidaknya keluarga yang satu ini agak normal. Dan seharusnya yang lain juga seperti itu. Mungkin. Dan apakah Elli itu "dia"?
Bisa jadi, bisa jadi tidak. Ah, masih banyak yang harus kulakukan. Aku tahu aku tidak bisa lagi membuang waktuku, maka kulanjutkan perjalananku. Tapi memang mengunjungi mereka satu persatu terasa melelahkan. Apa tidak bisa mereka berkumpul di satu tempat?
Aku masih berjalan sebelum melihat sebuah rumah di dekat rumah Elli. Bentuknya mirip dengan rumah Elli, catnya juga berwarna sama. Tapi anehnya malah mengundang rasa penasaranku. Mungkin karena ini desa, jadi rumah yang mirip terasa aneh bagiku. Aku mencoba memasukinya dengan mengetuk pintu.
Tok! Tok! Tok!
Tak lama, seorang pria menyambutku.
"Ada tamu.. oh, Jack?"
Ternyata sang walikota sendiri, Thomas, membukakan pintunya untukku.
"Ah, Pak Walikota!"
"Aduh, Jack, tak usah memanggilku 'pak walikota', panggil saja aku Thomas."
"Eng.. ya, Thomas, kalau begitu. Ini rumahmu?"
"Tentu saja! Hohoho.. tidak mungkin seorang walikota tidak punya rumah kan? Ayo masuk sebentar!"
Aku masuk ke dalam rumahnya. Lagi-lagi, bagian dalam rumahnya mengingatkanku pada rumah Elli. Bedanya, yang ini lebih kecil dan tidak serapih rumah Elli. Ada tiga kamar lagi selain ruang depan yang merangkap ruang keluarga. Mungkin satunya tempat tidur, satu lagi kamar mandi.
"Harris, ada Jack disini!"
"Jack? Yang kau ceritakan kemarin itu?"
Seorang pria muncul dari kamar lain. Pria itu berperawakan jangkung, dan memakai sejenis seragam berwarna biru. Dia langsung mendekatiku dan mengulurkan tangannya, ingin berjabat tangan denganku.
"Kamu Jack kan? Aku Harris, anak Thomas."
"Ah, senang bertemu denganmu. Tapi.. aku penasaran kenapa kamu memakai seragam.. seperti itu."
"Ahaha, semua orang yang bertemu pertama kali denganku pasti bertanya hal itu kalau tidak kujelaskan. Aku disini semacam ajudan untuk ayahku, Thomas, merangkap wakil walikota, penjaga keamanan dan polisi patroli."
"Tugasmu banyak juga."
"Tidak, tidak begitu. Sebenarnya karena ini kota yang kecil, aku tidak kerepotan mengurusinya."
"Aku kagum padamu, bisa mengemban tugas itu tanpa mengeluh."
"Wah.. tidak usah terlalu memuji, kamu juga akan seperti aku kalau mencoba melakukannya."
Mendadak Thomas memotong, "Oh ya, Jack, kamu ingin ikut kami ke gereja? Semua warga sedang berkumpul disana."
"Memang ada apa?"
"Kamu lupa? Ini kan hari Minggu, jadi semua orang harus kesana."
Kesempatan bagus untuk mengenal semua warga kota... kalau begini aku tak perlu bersusah-susah mengunjungi rumah mereka satu persatu.
"Hmm.. baiklah. Kapan kita pergi?"
"Sekarang juga. Hari sudah hampir siang, kita harus bergegas."
"Kalau begitu, ayo."
Aku keluar duluan, diikuti Thomas dan Harris. Sepertinya mulai menarik.. apakah mungkin ada 'dia' disana? Bisa jadi, bisa jadi tidak..
Selasa, 17 Agustus 2010
Harvest Moon Fanfic (Chapter 4 - The Book, The Girl, And Her Family ..)
Aku berjalan terus, terus di jalanan. Memikirkan gadis yang berjanji denganku itu. Kenapa aku bisa tidak ingat? Aku mengutuk diriku sendiri sembari berjalan, dan akhirnya jalan berbelok. Di depanku akhirnya ada rumah juga. Rumah itu tidak terlalu besar, tapi menyambung pada bangunan lain. Aku mendekat, dan pada plang bangunan itu tertulis “Perpustakaan Mineral Town”.
Mungkin aku bisa mendapatkan informasi disini. Tentang kakekku, mungkin? Kalau ada buku tentang penduduk disini tentu saja. Maka, aku mencoba membuka pintunya. Terkunci. Sial. Tapi hari masih pagi, udara masih dipenuhi kabut tipis. Kulihat jam tanganku, dan ternyata waktu baru menunjukkan jam 8:30. Mungkin terlalu pagi. Yah, coba saja pergi ke rumah itu dulu.
Aku mengetuk pintu rumah. Setelah menunggu beberapa lama, seorang wanita mempersilakanku masuk. Dari perawakannya aku bisa menebak setidaknya dia sudah kepala tiga. Rambutnya hitam dengan panjang sedikit melebihi bahu, dengan postur badan cukup tinggi dan memakai daster. Meskipun begitu, ia terlihat anggun dan wajahnya cukup terawat sehingga bisa menipu jika tidak dilihat baik-baik. Kusapa dia.
“Eng.. selamat pagi, bu.”
“Oh, pagi! Kamu.. kamu pasti Jack yang itu kan?”
“Darimana ibu bisa tahu?”
“Bagaimana aku tidak tahu.. kamu tidak ingat duabelas tahun lalu kakekmu membawamu kesini? Waktu itu kamu pernah berkunjung kesini juga.. ah, nostalgia. Lalu kemarin walikota Thomas bilang kamu sudah kembali kesini untuk mewarisi Eden Farm. Aku sudah menunggumu! Ayo masuk.”
“Ah, terima kasih, bu.”
“Aduh, Jack! Kamu tak usah memanggilku ‘bu’ seperti itu. Aku jadi kelihatan tua. Panggil saja Anna.”
“Er.. ya sudah, Anna.”
Aku mengikutinya masuk ke dalam rumah. Rumahnya tertata dengan rapih, terbuat dari kayu dengan nuansa pedesaan yang kental. Di satu sudut ruangan depan terlihat banyak pot dan botol kecil berisi beragam jenis tanaman aneh. Perhatianku langsung teralihkan pada pot-pot itu, dan aku mencoba menyentuhnya, sebelum seorang pria memperingatiku dari belakang seraya menepuk pundakku.
“Sebaiknya jangan kau sentuh, nak. Mereka bisa berbahaya. Beberapa dari mereka beracun dan kamu bisa mati dengan hanya menyentuhnya.”
“Oh…”
Aku langsung mundur, agak takut.
“Ah, aku belum memperkenalkan diriku. Namaku Basil, suami Anna. Dulu kamu pernah kesini, kan, Jack?”
“I.. iya.”
Sosok Basil cukup tegap dan meskipun aku tebak dia sudah kepala tiga sama seperti Anna, namun sekilas wajahnya terlihat cukup muda. Dia mengenakan baju safari dan celana kulit warna cokelat, dengan tas besar di punggungnya dan topi berwarna cokelat juga menghiasi kepalanya. Ia melihat jam di tangannya dan terkejut.
“Oh, sudah jam segini lagi? Maaf, Jack, nanti saja mengobrolnya! Anna, aku pergi dulu!”
Basil langsung meninggalkan rumah dengan terburu-buru. Anna menghela nafas dengan wajah sedih.
“Maafkan dia, Jack. Dia memang.. yah, pencinta tumbuhan. Dia memang bukan penduduk asli sini.. dia pindah 18 tahun lalu untuk meneliti tumbuhan, dan akhirnya menikah denganku. Tapi sejak dulu dia tak pernah berubah, dan selalu saja lebih mementingkan tumbuhan dibandingkan keluarga, bahkan dirinya sendiri. Aku selalu menasihatinya tapi dia tak pernah berubah, meskipun itu demi anakku, Mary..”
“Anak? Tunggu, kau punya anak?”
“Tentu saja, Jack. Mau bertemu dengannya? Dia hanya tiga tahun lebih muda darimu, 17 tahun.”
Beda tiga tahun? Berarti 12 tahun lalu dia baru berusia 5 tahun, sementara aku 8 tahun.. mungkinkah?
“Ya, tentu!”
“Baiklah. Akan kupanggil dia. Pagi-pagi begini dia suka mengurung diri di kamarnya, di atas. Mary!!!”
“Iya, ma!!”
Mary turun ke bawah. Sosoknya kecil, terlihat seperti tiga tahun lebih muda. Wajahnya cukup lumayan, meskipun kacamatanya agak mengurangi kecantikannya namun ia jadi terlihat lebih imut. Terlebih postur tubuhnya yang pendek, membuatnya terlihat seperti anak-anak. Apa ini cuma perasaanku, atau satu keluarga ini memang terlihat awet muda?
“Mary, ini Jack, yang kemarin kuceritakan.”
“Senang berkenalan denganmu, Mary. Aku Jack.”
Sementara aku dan Anna terus mengobrol, mulai dari pernikahan mereka, penelitian Basil hingga tentang perjalananku, Mary hanya duduk di sudut ruangan dan membaca buku. Kutu buku, rupanya. Meskipun begitu, sesekali ia melemparkan pandangannya padaku. Tapi aku tidak begitu menghiraukannya, karena Anna begitu cerewet. Aku mulai tidak betah, lagipula hari sudah mulai berganti siang.
“Maaf, Anna.. aku pergi dulu. Ada banyak urusan.”
“Oh, tidak apa-apa! Datanglah lagi kapan-kapan!”
Aku berharap sebaliknya.
“Ya sudah, Anna, Mary, aku pergi dulu.”
Aku keluar dari rumah mereka, dan meneruskan perjalanan. Keluarga yang cukup aneh, mereka itu. Semuanya terlihat lebih muda dari usianya, Anna sangat cerewet meskipun mungkin semua wanita seusianya juga begitu. Basil sangat gila tanaman, bahkan mungkin bisa dikategorikan sebagai maniak. Sementara Mary sangat pendiam dan kutu buku. Sungguh, sungguh sebuah kombinasi yang aneh. Yah, untuk sekarang jangan terlalu dipikirkan, sebaiknya teruskan perjalanan, masih banyak orang yang belum kukenal..
Mungkin aku bisa mendapatkan informasi disini. Tentang kakekku, mungkin? Kalau ada buku tentang penduduk disini tentu saja. Maka, aku mencoba membuka pintunya. Terkunci. Sial. Tapi hari masih pagi, udara masih dipenuhi kabut tipis. Kulihat jam tanganku, dan ternyata waktu baru menunjukkan jam 8:30. Mungkin terlalu pagi. Yah, coba saja pergi ke rumah itu dulu.
Aku mengetuk pintu rumah. Setelah menunggu beberapa lama, seorang wanita mempersilakanku masuk. Dari perawakannya aku bisa menebak setidaknya dia sudah kepala tiga. Rambutnya hitam dengan panjang sedikit melebihi bahu, dengan postur badan cukup tinggi dan memakai daster. Meskipun begitu, ia terlihat anggun dan wajahnya cukup terawat sehingga bisa menipu jika tidak dilihat baik-baik. Kusapa dia.
“Eng.. selamat pagi, bu.”
“Oh, pagi! Kamu.. kamu pasti Jack yang itu kan?”
“Darimana ibu bisa tahu?”
“Bagaimana aku tidak tahu.. kamu tidak ingat duabelas tahun lalu kakekmu membawamu kesini? Waktu itu kamu pernah berkunjung kesini juga.. ah, nostalgia. Lalu kemarin walikota Thomas bilang kamu sudah kembali kesini untuk mewarisi Eden Farm. Aku sudah menunggumu! Ayo masuk.”
“Ah, terima kasih, bu.”
“Aduh, Jack! Kamu tak usah memanggilku ‘bu’ seperti itu. Aku jadi kelihatan tua. Panggil saja Anna.”
“Er.. ya sudah, Anna.”
Aku mengikutinya masuk ke dalam rumah. Rumahnya tertata dengan rapih, terbuat dari kayu dengan nuansa pedesaan yang kental. Di satu sudut ruangan depan terlihat banyak pot dan botol kecil berisi beragam jenis tanaman aneh. Perhatianku langsung teralihkan pada pot-pot itu, dan aku mencoba menyentuhnya, sebelum seorang pria memperingatiku dari belakang seraya menepuk pundakku.
“Sebaiknya jangan kau sentuh, nak. Mereka bisa berbahaya. Beberapa dari mereka beracun dan kamu bisa mati dengan hanya menyentuhnya.”
“Oh…”
Aku langsung mundur, agak takut.
“Ah, aku belum memperkenalkan diriku. Namaku Basil, suami Anna. Dulu kamu pernah kesini, kan, Jack?”
“I.. iya.”
Sosok Basil cukup tegap dan meskipun aku tebak dia sudah kepala tiga sama seperti Anna, namun sekilas wajahnya terlihat cukup muda. Dia mengenakan baju safari dan celana kulit warna cokelat, dengan tas besar di punggungnya dan topi berwarna cokelat juga menghiasi kepalanya. Ia melihat jam di tangannya dan terkejut.
“Oh, sudah jam segini lagi? Maaf, Jack, nanti saja mengobrolnya! Anna, aku pergi dulu!”
Basil langsung meninggalkan rumah dengan terburu-buru. Anna menghela nafas dengan wajah sedih.
“Maafkan dia, Jack. Dia memang.. yah, pencinta tumbuhan. Dia memang bukan penduduk asli sini.. dia pindah 18 tahun lalu untuk meneliti tumbuhan, dan akhirnya menikah denganku. Tapi sejak dulu dia tak pernah berubah, dan selalu saja lebih mementingkan tumbuhan dibandingkan keluarga, bahkan dirinya sendiri. Aku selalu menasihatinya tapi dia tak pernah berubah, meskipun itu demi anakku, Mary..”
“Anak? Tunggu, kau punya anak?”
“Tentu saja, Jack. Mau bertemu dengannya? Dia hanya tiga tahun lebih muda darimu, 17 tahun.”
Beda tiga tahun? Berarti 12 tahun lalu dia baru berusia 5 tahun, sementara aku 8 tahun.. mungkinkah?
“Ya, tentu!”
“Baiklah. Akan kupanggil dia. Pagi-pagi begini dia suka mengurung diri di kamarnya, di atas. Mary!!!”
“Iya, ma!!”
Mary turun ke bawah. Sosoknya kecil, terlihat seperti tiga tahun lebih muda. Wajahnya cukup lumayan, meskipun kacamatanya agak mengurangi kecantikannya namun ia jadi terlihat lebih imut. Terlebih postur tubuhnya yang pendek, membuatnya terlihat seperti anak-anak. Apa ini cuma perasaanku, atau satu keluarga ini memang terlihat awet muda?
“Mary, ini Jack, yang kemarin kuceritakan.”
“Senang berkenalan denganmu, Mary. Aku Jack.”
Sementara aku dan Anna terus mengobrol, mulai dari pernikahan mereka, penelitian Basil hingga tentang perjalananku, Mary hanya duduk di sudut ruangan dan membaca buku. Kutu buku, rupanya. Meskipun begitu, sesekali ia melemparkan pandangannya padaku. Tapi aku tidak begitu menghiraukannya, karena Anna begitu cerewet. Aku mulai tidak betah, lagipula hari sudah mulai berganti siang.
“Maaf, Anna.. aku pergi dulu. Ada banyak urusan.”
“Oh, tidak apa-apa! Datanglah lagi kapan-kapan!”
Aku berharap sebaliknya.
“Ya sudah, Anna, Mary, aku pergi dulu.”
Aku keluar dari rumah mereka, dan meneruskan perjalanan. Keluarga yang cukup aneh, mereka itu. Semuanya terlihat lebih muda dari usianya, Anna sangat cerewet meskipun mungkin semua wanita seusianya juga begitu. Basil sangat gila tanaman, bahkan mungkin bisa dikategorikan sebagai maniak. Sementara Mary sangat pendiam dan kutu buku. Sungguh, sungguh sebuah kombinasi yang aneh. Yah, untuk sekarang jangan terlalu dipikirkan, sebaiknya teruskan perjalanan, masih banyak orang yang belum kukenal..
Minggu, 15 Agustus 2010
Harvest Moon Fanfic (Chapter 3 - Townsfolk)
Aku bangun dari tempat tidurku. Rasanya seluruh badanku membatu, tidak bisa bergerak. Kerja seperti ini memang melelahkan, tapi aku harus bertahan. Dengan susah payah kugerakkan tubuhku dan berjalan sedikit demi sedikit. Punggungku rasanya sangat sakit, rasanya seperti menanggung beban seluruh bumi.
Aku melihat ke meja makan. Tidak ada makanan disana. Dan tidak ada dapur untuk memasak makanan pula. Apa kakek jarang makan? Perutku berbunyi. Aku harus segera makan. Mungkin di kota ada restoran atau semacamnya, sekalian bertemu dengan orang-orang disana. Berusaha berjalan, akhirnya aku berhasil mengalahkan rasa sakitku dan keluar dari rumah.
Berjalan beberapa langkah, tiba-tiba sebuah pikiran masuk ke dalam kesadaranku. Bukannya aku tidak hafal arah di kota ini? Oh, tidak. Tapi lebih baik berjalan terus, kan? Mungkin kalau ada orang lewat, aku bisa bertanya padanya. Menenangkan diri sendiri, aku kembali berjalan.
Aku sampai di sebuah pertigaan. Aku bingung jalan mana yang harus kutempuh. Beruntung, ternyata ada papan penunjuk jalan di pinggir. Aku segera melihatnya dengan seksama. Ternyata jalan lurus menuju kota, dan jalan ke kanan berarti menuju peternakan lain, pandai besi dan Rose Square. Rose Square pastilah lapangan kota itu. Berarti aku harus lurus.
Setelah berjalan beberapa lama, aku kembali menemui pertigaan. Kali ini tidak ada penunjuk jalan. Hanya ada satu bangunan dengan plang besar berbunyi “Aja Winery”. Sepertinya aku harus bertanya pada orang disitu. Maka, aku berjalan kesana. Ada seorang pria berpenampilan cukup necis, dengan rambut yang banyak diminyaki dan perawakan cukup ideal.
“Maaf, Pak..”
“Oh? Aku belum lihat kau sebelumnya.”
“Ah, maaf. Namaku Jack, aku pemilik baru Eden Farm.”
“Jadi kamu Jack? Senang berkenalan denganmu. Aku Duke. Aku dan istriku pemilik kebun anggur ini, Aja Winery, seperti yang bisa kau lihat di plang itu. Thomas bicara banyak tentangmu kemarin. Mau mampir sebentar?”
Apa aku seterkenal itu disini? Di kota kecil, kabar menyebar secepat angin.
“Terima kasih, Duke.. tapi sekarang aku ingin sarapan lebih dulu. Apa tidak ada restoran atau semacamnya disini?”
“Itu, di sebelah, ada penginapan dan restoran.”
“Terima kasih, Duke. Aku kesana dulu.”
“Hati-hati! Dan mampirlah kesini kapan-kapan.”
“Ya!”
Aku kembali berjalan. Perutku sudah keroncongan, aku tidak sabar lagi. Bangunan yang dimaksud Duke terlihat. Cukup besar, seperti kebanyakan penginapan terdiri dari dua lantai. Ada plang tertulis di depan pintu “Doug’s Inn”. Sepertinya memang ini bangunan yang benar. Aku membuka pintu dan masuk ke dalam.
Seorang pria berwajah ramah menyambutku. Ia kelihatannya cukup tua, dengan kumis tebal berwarna putih dan rambut beruban.
“Selamat datang! Hei, kamu.. kamu orang baru?”
“Ya, namaku Jack, pewaris Eden Farm.”
“Oh, jadi kamu Jack? Senang bertemu denganmu. Aku Doug, pemilik penginapan ini. Silakan duduk. Hei Ann, tolong siapkan makanan! Ada Jack disini!”
Suara seorang perempuan membalas dari balik pintu.
“Iya, iya!”
"Maafkan anakku, Jack, dia agak.. tomboy."
"Yah, tidak apa-apa."
Tak lama menunggu, gadis itu keluar membawa beberapa piring makanan dengan telaten. Rambutnya merah, diikat ke belakang gaya buntut kuda. Wajahnya lumayan manis, dan dari gerak-geriknya terlihat dia agak tomboy.
“Maaf menunggu! Ini.. oh..”
Tiba-tiba Ann berhenti sebentar, dan memandangku dengan pandangan yang aneh. Aku balas memandangnya, dan wajahnya tiba-tiba memerah.
“Oh, maaf! Ini..”
Ann menaruh piring-piring berisi makanan itu di meja. Rupanya ada banyak sekali makanan yang mereka sediakan. Ada pie, telur dadar, roti, onigiri dan segelas anggur. Tanpa sadar air liurku menetes. Aku buru-buru menyekanya.
“Eng.. anu.. ini semua untukku? Lalu bagaimana aku bisa bayar?”
“Tenang saja, Jack, khusus kali ini semuanya gratis! Ya kan, Ann?”
“Ah, i-iya!!”
“Kalau begitu, terima kasih banyak, Doug!”
Aku makan dengan lahap. Tanpa memakan banyak waktu makanan sudah habis. Sementara aku meminum anggur, Doug dan Ann kembali menghampiriku.
“Bagaimana?”
“Enak. Enak sekali. Siapa yang masak?”
“Tentu saja Ann. Dia pandai memasak.”
“Oh, kamu yang memasak semuanya, Ann? Terima kasih.”
Tanpa sadar sebuah senyum mengembang di wajahku. Wajah Ann kembali memerah, aku tak tahu kenapa. Ia langsung memalingkan mukanya.
“Bu-bu-bukan begitu! A-aku memasak seperti ini untuk semua orang kok!”
“Yah, tidak apa-apa. Aku hanya ingin berterima kasih saja. Nah, Doug, Ann, aku pergi dulu.”
“Sudah ingin pergi lagi?”
“Aku punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.. dan aku juga belum bertemu semua orang.”
“Ya sudah, nak, hati-hati saja. Dan lain kali datanglah kesini, meskipun lain kali kau harus bayar untuk makan disini. Lagipula, kelihatannya Ann suka padamu.”
“A-ayah!! Hentikan! Ehm, Jack, bukannya aku ada perasaan apapun padamu, hanya saja.. mungkin kau butuh sesuatu, datanglah lagi kalau sempat.”
“Tentu saja.”
Aku keluar dari penginapan, dengan perut penuh dan sebuah pikiran yang mengganjal. Mungkin Ann-lah gadis itu? Atau bukan? Aku harus memastikan, tapi sebelumnya aku harus bertemu dulu dengan penduduk yang lain. Aku kembali ke pertigaan tadi, dan berbelok ke kanan ke arah bagian kota yang belum kujamah.
Aku melihat ke meja makan. Tidak ada makanan disana. Dan tidak ada dapur untuk memasak makanan pula. Apa kakek jarang makan? Perutku berbunyi. Aku harus segera makan. Mungkin di kota ada restoran atau semacamnya, sekalian bertemu dengan orang-orang disana. Berusaha berjalan, akhirnya aku berhasil mengalahkan rasa sakitku dan keluar dari rumah.
Berjalan beberapa langkah, tiba-tiba sebuah pikiran masuk ke dalam kesadaranku. Bukannya aku tidak hafal arah di kota ini? Oh, tidak. Tapi lebih baik berjalan terus, kan? Mungkin kalau ada orang lewat, aku bisa bertanya padanya. Menenangkan diri sendiri, aku kembali berjalan.
Aku sampai di sebuah pertigaan. Aku bingung jalan mana yang harus kutempuh. Beruntung, ternyata ada papan penunjuk jalan di pinggir. Aku segera melihatnya dengan seksama. Ternyata jalan lurus menuju kota, dan jalan ke kanan berarti menuju peternakan lain, pandai besi dan Rose Square. Rose Square pastilah lapangan kota itu. Berarti aku harus lurus.
Setelah berjalan beberapa lama, aku kembali menemui pertigaan. Kali ini tidak ada penunjuk jalan. Hanya ada satu bangunan dengan plang besar berbunyi “Aja Winery”. Sepertinya aku harus bertanya pada orang disitu. Maka, aku berjalan kesana. Ada seorang pria berpenampilan cukup necis, dengan rambut yang banyak diminyaki dan perawakan cukup ideal.
“Maaf, Pak..”
“Oh? Aku belum lihat kau sebelumnya.”
“Ah, maaf. Namaku Jack, aku pemilik baru Eden Farm.”
“Jadi kamu Jack? Senang berkenalan denganmu. Aku Duke. Aku dan istriku pemilik kebun anggur ini, Aja Winery, seperti yang bisa kau lihat di plang itu. Thomas bicara banyak tentangmu kemarin. Mau mampir sebentar?”
Apa aku seterkenal itu disini? Di kota kecil, kabar menyebar secepat angin.
“Terima kasih, Duke.. tapi sekarang aku ingin sarapan lebih dulu. Apa tidak ada restoran atau semacamnya disini?”
“Itu, di sebelah, ada penginapan dan restoran.”
“Terima kasih, Duke. Aku kesana dulu.”
“Hati-hati! Dan mampirlah kesini kapan-kapan.”
“Ya!”
Aku kembali berjalan. Perutku sudah keroncongan, aku tidak sabar lagi. Bangunan yang dimaksud Duke terlihat. Cukup besar, seperti kebanyakan penginapan terdiri dari dua lantai. Ada plang tertulis di depan pintu “Doug’s Inn”. Sepertinya memang ini bangunan yang benar. Aku membuka pintu dan masuk ke dalam.
Seorang pria berwajah ramah menyambutku. Ia kelihatannya cukup tua, dengan kumis tebal berwarna putih dan rambut beruban.
“Selamat datang! Hei, kamu.. kamu orang baru?”
“Ya, namaku Jack, pewaris Eden Farm.”
“Oh, jadi kamu Jack? Senang bertemu denganmu. Aku Doug, pemilik penginapan ini. Silakan duduk. Hei Ann, tolong siapkan makanan! Ada Jack disini!”
Suara seorang perempuan membalas dari balik pintu.
“Iya, iya!”
"Maafkan anakku, Jack, dia agak.. tomboy."
"Yah, tidak apa-apa."
Tak lama menunggu, gadis itu keluar membawa beberapa piring makanan dengan telaten. Rambutnya merah, diikat ke belakang gaya buntut kuda. Wajahnya lumayan manis, dan dari gerak-geriknya terlihat dia agak tomboy.
“Maaf menunggu! Ini.. oh..”
Tiba-tiba Ann berhenti sebentar, dan memandangku dengan pandangan yang aneh. Aku balas memandangnya, dan wajahnya tiba-tiba memerah.
“Oh, maaf! Ini..”
Ann menaruh piring-piring berisi makanan itu di meja. Rupanya ada banyak sekali makanan yang mereka sediakan. Ada pie, telur dadar, roti, onigiri dan segelas anggur. Tanpa sadar air liurku menetes. Aku buru-buru menyekanya.
“Eng.. anu.. ini semua untukku? Lalu bagaimana aku bisa bayar?”
“Tenang saja, Jack, khusus kali ini semuanya gratis! Ya kan, Ann?”
“Ah, i-iya!!”
“Kalau begitu, terima kasih banyak, Doug!”
Aku makan dengan lahap. Tanpa memakan banyak waktu makanan sudah habis. Sementara aku meminum anggur, Doug dan Ann kembali menghampiriku.
“Bagaimana?”
“Enak. Enak sekali. Siapa yang masak?”
“Tentu saja Ann. Dia pandai memasak.”
“Oh, kamu yang memasak semuanya, Ann? Terima kasih.”
Tanpa sadar sebuah senyum mengembang di wajahku. Wajah Ann kembali memerah, aku tak tahu kenapa. Ia langsung memalingkan mukanya.
“Bu-bu-bukan begitu! A-aku memasak seperti ini untuk semua orang kok!”
“Yah, tidak apa-apa. Aku hanya ingin berterima kasih saja. Nah, Doug, Ann, aku pergi dulu.”
“Sudah ingin pergi lagi?”
“Aku punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.. dan aku juga belum bertemu semua orang.”
“Ya sudah, nak, hati-hati saja. Dan lain kali datanglah kesini, meskipun lain kali kau harus bayar untuk makan disini. Lagipula, kelihatannya Ann suka padamu.”
“A-ayah!! Hentikan! Ehm, Jack, bukannya aku ada perasaan apapun padamu, hanya saja.. mungkin kau butuh sesuatu, datanglah lagi kalau sempat.”
“Tentu saja.”
Aku keluar dari penginapan, dengan perut penuh dan sebuah pikiran yang mengganjal. Mungkin Ann-lah gadis itu? Atau bukan? Aku harus memastikan, tapi sebelumnya aku harus bertemu dulu dengan penduduk yang lain. Aku kembali ke pertigaan tadi, dan berbelok ke kanan ke arah bagian kota yang belum kujamah.
Jumat, 13 Agustus 2010
Diamond, Pearl, Platinum
Di Pokemon DP & Platinum, ada 2 versi karakter yang berbeda di tiap game. karakter utama cowok namanya lucas, yg cewek namanya dawn.
hahaha, cekidot sama gambar dibawah ini ....
Lucas (Pokemon DP & Platinum)
>> Lucas (DP Version)
>> Lucas (Platinum Version)
Dawn (Pokemon DP & Platinum)
>> Dawn (DP Version)
>> Dawn (Platinum Version)
Dah, ini cuma posting blog gue hari ini bye2 .....
hahaha, cekidot sama gambar dibawah ini ....
Lucas (Pokemon DP & Platinum)
>> Lucas (DP Version)
>> Lucas (Platinum Version)
Dawn (Pokemon DP & Platinum)
>> Dawn (DP Version)
>> Dawn (Platinum Version)
Dah, ini cuma posting blog gue hari ini bye2 .....
Label:
My Info
|
0
komentar
Rabu, 11 Agustus 2010
Harvest Moon Fanfic (Chapter 2 - The Beginning of the Beginning)
Kapal mendarat di pelabuhan Mineral Town. Pelabuhan yang kecil, tapi cukup tertata dengan baik meskipun hanya mampu mendaratkan satu kapal saja. Tanpa banyak prosedur tetek-bengek, para penumpang yang hanya sedikit termasuk aku turun. Aku tidak memperdulikan penumpang lainnya, hanya buang-buang waktu saja untuk saat ini. Aku hanya berfokus pada peternakan kakekku.
Tapi aku tersesat. Aku mondar-mandir di kota kecil itu tanpa arah. Berkat keteledoranku yang lupa mencari letak Eden Farm lebih dulu. Penyesalan selalu datang terlambat, aku tahu itu. Tapi nasi sudah menjadi bubur, dan tanpa petunjuk apapun aku datang ke lapangan kota, mencari apakah ada peta atau semacamnya. Sayangnya tidak. Menghela nafas, aku duduk di bangku taman, lelah dan hampir menyerah.
Namun, aku melihat sesosok orang datang dari dalam kota. Penampilannya sebenarnya agak lucu, dengan tubuh gemuk pendek, kumis dan jenggot lebat serta topi merah yang terlihat menutupi mukanya. Meskipun begitu, dia terlihat cukup berwibawa. Aku segera menghampirinya.
“Maaf.. Pak.. anda tahu dimana letak Eden Farm?”
“Kenapa kamu ingin kesana, anak muda? Itu peternakan yang sudah enam bulan ditinggalkan oleh pemiliknya, dan pewarisnya tak kunjung datang. Ia sungguh seorang yang baik dan ramah..”
“Tapi, Pak, saya ini pewaris peternakan itu!”
“Oh! Jadi kamu.. Jack? Kamu Jack? Jack yang selalu dibanggakan dia?”
“Benar Pak, saya Jack.”
“Ah, maaf, maaf! Kenalkan, aku walikota Mineral Town, namaku Thomas.”
“Jadi anda walikota? Oh, maafkan saya, saya agak.. lancang.”
“Tidak, tidak, akulah yang harus minta maaf. Ayo, kuantarkan kesana.”
Walikota bertubuh gempal itu berjalan ke dalam kota, dan aku mengikutinya. Aku sebenarnya agak tidak percaya bahwa bapak-bapak gendut itulah walikota kota kecil ini. Penampilan bisa menipu, memang bisa menipu. Tapi sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Tanpa terasa kami sudah tiba di depan Eden Farm.
Situasi Eden Farm sungguh mengejutkanku. Ladang peninggalan kakekku sudah amat berantakan, ditumbuhi ilalang yang lebat dan banyak batu-batu besar menghalangi. Kandang-kandang ayam, sapi dan kuda juga tidak lebih baik. Hanya rumah kakekku yang terlihat masih cukup bagus.
“Ini.. memang berapa lama peternakan ini sudah ditinggalkan?”
“Kamu tidak tahu? Kakekmu meninggal enam bulan lalu, dan tidak ada lagi yang mengurus peternakan ini sejak saat itu.”
“Enam bulan??”
Orang tuaku memang bajingan.
“Lalu.. apa saja yang tersisa?”
“Hanya ini. Semua ayam dijual kakekmu sebelum dia meninggal, sementara sapi dan domba yang ia punya disembelih dan dagingnya dibagikan pada penduduk kota. Hanya kuda miliknya saja yang diberikan pada Barley, pemilik Yodel Farm. Dan sisanya.. yah, kau tahu apa sisanya.”
“Tapi.. apa tidak ada peralatan atau semacamnya untuk membantuku membereskan semua ini?”
“Ah, sekarang setelah kau menanyakannya, aku ingat semua peralatan yang dia miliki ada di dalam rumahnya. Kebetulan juga aku masih membawa kunci rumahnya di sakuku. Ini.”
Aku mengambil kunci rumah kakekku, yang sekaligus secara simbolis kunci untuk Eden Farm ini.
“Dan kunci kandang?”
“Kakekmu meninggalkannya di dalam rumah.”
“Ah, terima kasih.”
“Nah, Jack, aku tinggalkan dulu kamu disini. Oh ya, rumahku ada di sana, di tengah kota, ada plang-nya. Kapan-kapan datanglah berkunjung.”
“Baik.”
Thomas si walikota itu pergi meninggalkanku sendiri. Aku tidak bisa membuang waktuku lebih banyak lagi dan berjalan menuju rumah kakekku, yang sekarang menjadi rumahku. Membuka pintunya dengan kunci, aku masuk ke dalam. Ternyata, meskipun rumah itu kecil namun bagian dalamnya masih cukup terawat, kalau debu dan sarang laba-labanya tidak dihitung. Ada tempat tidur, meja kecil dengan kunci-kunci di atasnya, TV, kalender dan sebuah peti.
Peti itu pasti tempat kakekku menyimpan barang-barangnya. Aku segera mengambil kunci-kunci yang ada diatas meja dan mencobanya satu persatu. Beberapa kali aku gagal. Yah, memang trial and error diperlukan untuk hal-hal seperti ini. Akhirnya aku memilih kunci yang tepat dan peti itu terbuka.
Isinya cukup banyak. Untungnya, perkataan si walikota benar. Ada beberapa alat yang bisa dipakai. Ada cangkul, palu besar, arit, alat penyiram dan kapak. Semuanya cocok untuk pekerjaanku. Aku memegang alat-alat itu satu persatu. Jujur, aku belum pernah memegang alat-alat ini sebelumnya. Aku bahkan tidak pernah mencangkul. Tapi apa daya. Aku tidak punya pilihan lain. Aku harus mencobanya.
Maka, aku mengambil arit dan bergegas keluar. Untuk ladang yang dipenuhi ilalang seperti ini, jelas arit lebih dibutuhkan. Aku berdiri di hadapan ladang yang penuh dengan ilalang, menghela nafas sebelum aku menyingsingkan lengan bajuku dan mulai menyabit ilalang-ilalang itu.
Tanpa terasa, hari sudah malam. Aku baru berhasil membuka sedikit lahan. Ternyata pekerjaan seperti ini melelahkan, amat sangat melelahkan. Tapi aku masih tak punya pilihan lain. Aku harus melakukan ini. Dengan letih aku kembali masuk ke rumahku. Setelah mandi aku langsung melompat ke tempat tidur, seolah bertemu dengan kekasih yang lama hilang. Sekarang aku lelah sekali. Mungkin besok aku akan menanyakan sedikit hal pada penduduk kota, dan bertemu dengan gadis itu lagi?
Tapi aku tersesat. Aku mondar-mandir di kota kecil itu tanpa arah. Berkat keteledoranku yang lupa mencari letak Eden Farm lebih dulu. Penyesalan selalu datang terlambat, aku tahu itu. Tapi nasi sudah menjadi bubur, dan tanpa petunjuk apapun aku datang ke lapangan kota, mencari apakah ada peta atau semacamnya. Sayangnya tidak. Menghela nafas, aku duduk di bangku taman, lelah dan hampir menyerah.
Namun, aku melihat sesosok orang datang dari dalam kota. Penampilannya sebenarnya agak lucu, dengan tubuh gemuk pendek, kumis dan jenggot lebat serta topi merah yang terlihat menutupi mukanya. Meskipun begitu, dia terlihat cukup berwibawa. Aku segera menghampirinya.
“Maaf.. Pak.. anda tahu dimana letak Eden Farm?”
“Kenapa kamu ingin kesana, anak muda? Itu peternakan yang sudah enam bulan ditinggalkan oleh pemiliknya, dan pewarisnya tak kunjung datang. Ia sungguh seorang yang baik dan ramah..”
“Tapi, Pak, saya ini pewaris peternakan itu!”
“Oh! Jadi kamu.. Jack? Kamu Jack? Jack yang selalu dibanggakan dia?”
“Benar Pak, saya Jack.”
“Ah, maaf, maaf! Kenalkan, aku walikota Mineral Town, namaku Thomas.”
“Jadi anda walikota? Oh, maafkan saya, saya agak.. lancang.”
“Tidak, tidak, akulah yang harus minta maaf. Ayo, kuantarkan kesana.”
Walikota bertubuh gempal itu berjalan ke dalam kota, dan aku mengikutinya. Aku sebenarnya agak tidak percaya bahwa bapak-bapak gendut itulah walikota kota kecil ini. Penampilan bisa menipu, memang bisa menipu. Tapi sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Tanpa terasa kami sudah tiba di depan Eden Farm.
Situasi Eden Farm sungguh mengejutkanku. Ladang peninggalan kakekku sudah amat berantakan, ditumbuhi ilalang yang lebat dan banyak batu-batu besar menghalangi. Kandang-kandang ayam, sapi dan kuda juga tidak lebih baik. Hanya rumah kakekku yang terlihat masih cukup bagus.
“Ini.. memang berapa lama peternakan ini sudah ditinggalkan?”
“Kamu tidak tahu? Kakekmu meninggal enam bulan lalu, dan tidak ada lagi yang mengurus peternakan ini sejak saat itu.”
“Enam bulan??”
Orang tuaku memang bajingan.
“Lalu.. apa saja yang tersisa?”
“Hanya ini. Semua ayam dijual kakekmu sebelum dia meninggal, sementara sapi dan domba yang ia punya disembelih dan dagingnya dibagikan pada penduduk kota. Hanya kuda miliknya saja yang diberikan pada Barley, pemilik Yodel Farm. Dan sisanya.. yah, kau tahu apa sisanya.”
“Tapi.. apa tidak ada peralatan atau semacamnya untuk membantuku membereskan semua ini?”
“Ah, sekarang setelah kau menanyakannya, aku ingat semua peralatan yang dia miliki ada di dalam rumahnya. Kebetulan juga aku masih membawa kunci rumahnya di sakuku. Ini.”
Aku mengambil kunci rumah kakekku, yang sekaligus secara simbolis kunci untuk Eden Farm ini.
“Dan kunci kandang?”
“Kakekmu meninggalkannya di dalam rumah.”
“Ah, terima kasih.”
“Nah, Jack, aku tinggalkan dulu kamu disini. Oh ya, rumahku ada di sana, di tengah kota, ada plang-nya. Kapan-kapan datanglah berkunjung.”
“Baik.”
Thomas si walikota itu pergi meninggalkanku sendiri. Aku tidak bisa membuang waktuku lebih banyak lagi dan berjalan menuju rumah kakekku, yang sekarang menjadi rumahku. Membuka pintunya dengan kunci, aku masuk ke dalam. Ternyata, meskipun rumah itu kecil namun bagian dalamnya masih cukup terawat, kalau debu dan sarang laba-labanya tidak dihitung. Ada tempat tidur, meja kecil dengan kunci-kunci di atasnya, TV, kalender dan sebuah peti.
Peti itu pasti tempat kakekku menyimpan barang-barangnya. Aku segera mengambil kunci-kunci yang ada diatas meja dan mencobanya satu persatu. Beberapa kali aku gagal. Yah, memang trial and error diperlukan untuk hal-hal seperti ini. Akhirnya aku memilih kunci yang tepat dan peti itu terbuka.
Isinya cukup banyak. Untungnya, perkataan si walikota benar. Ada beberapa alat yang bisa dipakai. Ada cangkul, palu besar, arit, alat penyiram dan kapak. Semuanya cocok untuk pekerjaanku. Aku memegang alat-alat itu satu persatu. Jujur, aku belum pernah memegang alat-alat ini sebelumnya. Aku bahkan tidak pernah mencangkul. Tapi apa daya. Aku tidak punya pilihan lain. Aku harus mencobanya.
Maka, aku mengambil arit dan bergegas keluar. Untuk ladang yang dipenuhi ilalang seperti ini, jelas arit lebih dibutuhkan. Aku berdiri di hadapan ladang yang penuh dengan ilalang, menghela nafas sebelum aku menyingsingkan lengan bajuku dan mulai menyabit ilalang-ilalang itu.
Tanpa terasa, hari sudah malam. Aku baru berhasil membuka sedikit lahan. Ternyata pekerjaan seperti ini melelahkan, amat sangat melelahkan. Tapi aku masih tak punya pilihan lain. Aku harus melakukan ini. Dengan letih aku kembali masuk ke rumahku. Setelah mandi aku langsung melompat ke tempat tidur, seolah bertemu dengan kekasih yang lama hilang. Sekarang aku lelah sekali. Mungkin besok aku akan menanyakan sedikit hal pada penduduk kota, dan bertemu dengan gadis itu lagi?
Harvest Moon Fanfic (Chapter 1 - Promised Land)
FF ini adalah fanfic dari Harvest Moon : Back To Nature dengan dicampur elemen dari Friends of Mineral Town. Namun, jangan kaget bila ada beberapa event yang dibikin berbeda. Dan satu lagi, there will be NO HARVEST STRIPES. Enjoy !!
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Aku tak pernah punya hidup yang bahagia. Saat aku masih kecil, orang tuaku jarang sekali mengurusku. Urusan pekerjaan, kata mereka, tapi aku jelas tidak percaya sepenuhnya pada mereka. Saat aku masih anak-anak mungkin aku masih punya kepercayaan pada mereka. Namun aku tumbuh menjadi seorang remaja, tahu mana yang salah dan mana yang benar. Dan aku tahu mereka berbohong.
Kebohongan mereka makin menjadi seiring berlalunya waktu, yang berputar meninggalkanku karena aku ditahan mereka, yang berusaha menolak jaman. Orang tuaku tak pernah memberiku sesuatu yang bagus. Mereka hanya mendidikku dengan kejelekan, itu pun kalau mereka sempat mendidik. Saat aku kecil, aku sering berharap dilahirkan di keluarga yang berbeda, tapi sekarang aku merasa keinginanku sungguh bodoh.
Orang tuaku sangat kubenci, sampai akhir hidup mereka. Satu-satunya orang yang kupercayai adalah kakekku. Dia sangat baik terhadapku, berbeda dengan kedua orang tuaku, yang selalu mengurungku. Mereka selalu memasang muka dua di hadapan kakekku, tapi aku tahu kakek sudah tahu yang sebenarnya. Sayangnya, aku hanya bertemu dengannya sekali. Hanya satu kali.
Waktu itu, aku masih kecil. 12 tahun lalu, ya, dua belas tahun. Waktu itu usiaku masih 6 tahun. Aku diajak orang tuaku ke rumah kakekku, yang merangkap sebagai peternakan dan ladang. Sampai sekarang, aku masih tidak tahu kenapa mereka mengajakku kesana. Bukankah mereka selalu mengungkungku? Mungkin mereka punya urusan atau apalah itu dengan kakekku, aku tidak tahu. Dan aku tidak mengurusi hal itu.
Aku masih ingat bagaimana wajah dan perilaku kakekku. Tapi anehnya, ingatanku tentang hal lain yang kulakukan disana hanya samar-samar saja, seolah tertutup kelabu. Aku ingat kakekku punya peternakan dan ladang yang luas, tapi aku tidak ingat secara persis bentuk dan rupanya. Aku ingat kakekku membawaku keliling kota kecil itu dan memperkenalkanku pada orang-orang. Tapi aku tidak ingat siapa mereka.
Aku masih ingat saat kakekku menghisap cangklong kesayangannya sambil duduk di kursi goyang dan membacakanku cerita. Tapi aku tidak ingat cerita apa yang dibacakannya. Aku masih ingat juga saat kakekku membawaku ke pinggir hutan, lalu ke air terjun. Tapi aku tidak ingat, yang aku ingat selain tempatnya hanya aku dan kakekku.
Kecuali satu, satu kejadian. Saat itu kakekku sedang bersama orang tuaku, membicarakan hal yang tidak menjadi urusanku. Aku merasa kesepian dan duduk di teras rumah kakekku sendirian. Tanpa ada siapapun. Meskipun aku sudah sering mengalami perasaan ini, tapi anehnya kali ini aku merasa sesak. Namun, seorang gadis mendekatiku.
Aku tidak tahu siapa dia, tidak ingat wajahnya bahkan warna rambutnya. Tapi aku ingat satu hal darinya. Sebuah janji. Janji dengan jari kelingking. Janji, bahwa aku akan kembali lagi, suatu saat. Itulah satu-satunya hal yang kuingat selain kakekku disana. Sayangnya aku hanya sebentar saja berada disana, karena orang tuaku yang jahat memaksaku pergi. Tapi, aku pasti kembali. Demi janji itu.
Waktu terus berlalu, dan orang tuaku meninggal. Aku tidak menangis, juga tidak bersedih. Untuk apa, lagipula, untuk apa aku menangis? Bahkan, kalau orang yang kau sayangi meninggal, menangisinya tidak akan membawanya kembali. Apalagi kalau itu orang seperti kedua orang tuaku. Mereka meninggal dalam kecelakaan lalu lintas, dan aku hanya lebih bersyukur karena tubuh mereka hancur terlindas truk.
Sekarang, aku tidak tahu kemana aku harus pergi. Aku tidak punya sanak saudara lagi karena orangtuaku juga keduanya anak tunggal, sama sepertiku. Hanya kakekku, hanya dia yang terpikir dalam pikiranku. Aku segera terdorong untuk kembali ke sana, ke kota itu, dan tinggal bersama kakekku sekaligus untuk memenuhi janjiku pada gadis itu. Tapi aku tidak tahu dimana dia berada. Meskipun begitu, aku pasti kembali kesana. Demi janji itu.
Kebohongan mereka makin menjadi seiring berlalunya waktu, yang berputar meninggalkanku karena aku ditahan mereka, yang berusaha menolak jaman. Orang tuaku tak pernah memberiku sesuatu yang bagus. Mereka hanya mendidikku dengan kejelekan, itu pun kalau mereka sempat mendidik. Saat aku kecil, aku sering berharap dilahirkan di keluarga yang berbeda, tapi sekarang aku merasa keinginanku sungguh bodoh.
Orang tuaku sangat kubenci, sampai akhir hidup mereka. Satu-satunya orang yang kupercayai adalah kakekku. Dia sangat baik terhadapku, berbeda dengan kedua orang tuaku, yang selalu mengurungku. Mereka selalu memasang muka dua di hadapan kakekku, tapi aku tahu kakek sudah tahu yang sebenarnya. Sayangnya, aku hanya bertemu dengannya sekali. Hanya satu kali.
Waktu itu, aku masih kecil. 12 tahun lalu, ya, dua belas tahun. Waktu itu usiaku masih 6 tahun. Aku diajak orang tuaku ke rumah kakekku, yang merangkap sebagai peternakan dan ladang. Sampai sekarang, aku masih tidak tahu kenapa mereka mengajakku kesana. Bukankah mereka selalu mengungkungku? Mungkin mereka punya urusan atau apalah itu dengan kakekku, aku tidak tahu. Dan aku tidak mengurusi hal itu.
Aku masih ingat bagaimana wajah dan perilaku kakekku. Tapi anehnya, ingatanku tentang hal lain yang kulakukan disana hanya samar-samar saja, seolah tertutup kelabu. Aku ingat kakekku punya peternakan dan ladang yang luas, tapi aku tidak ingat secara persis bentuk dan rupanya. Aku ingat kakekku membawaku keliling kota kecil itu dan memperkenalkanku pada orang-orang. Tapi aku tidak ingat siapa mereka.
Aku masih ingat saat kakekku menghisap cangklong kesayangannya sambil duduk di kursi goyang dan membacakanku cerita. Tapi aku tidak ingat cerita apa yang dibacakannya. Aku masih ingat juga saat kakekku membawaku ke pinggir hutan, lalu ke air terjun. Tapi aku tidak ingat, yang aku ingat selain tempatnya hanya aku dan kakekku.
Kecuali satu, satu kejadian. Saat itu kakekku sedang bersama orang tuaku, membicarakan hal yang tidak menjadi urusanku. Aku merasa kesepian dan duduk di teras rumah kakekku sendirian. Tanpa ada siapapun. Meskipun aku sudah sering mengalami perasaan ini, tapi anehnya kali ini aku merasa sesak. Namun, seorang gadis mendekatiku.
Aku tidak tahu siapa dia, tidak ingat wajahnya bahkan warna rambutnya. Tapi aku ingat satu hal darinya. Sebuah janji. Janji dengan jari kelingking. Janji, bahwa aku akan kembali lagi, suatu saat. Itulah satu-satunya hal yang kuingat selain kakekku disana. Sayangnya aku hanya sebentar saja berada disana, karena orang tuaku yang jahat memaksaku pergi. Tapi, aku pasti kembali. Demi janji itu.
Waktu terus berlalu, dan orang tuaku meninggal. Aku tidak menangis, juga tidak bersedih. Untuk apa, lagipula, untuk apa aku menangis? Bahkan, kalau orang yang kau sayangi meninggal, menangisinya tidak akan membawanya kembali. Apalagi kalau itu orang seperti kedua orang tuaku. Mereka meninggal dalam kecelakaan lalu lintas, dan aku hanya lebih bersyukur karena tubuh mereka hancur terlindas truk.
Sekarang, aku tidak tahu kemana aku harus pergi. Aku tidak punya sanak saudara lagi karena orangtuaku juga keduanya anak tunggal, sama sepertiku. Hanya kakekku, hanya dia yang terpikir dalam pikiranku. Aku segera terdorong untuk kembali ke sana, ke kota itu, dan tinggal bersama kakekku sekaligus untuk memenuhi janjiku pada gadis itu. Tapi aku tidak tahu dimana dia berada. Meskipun begitu, aku pasti kembali kesana. Demi janji itu.
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Aku masih mengacak-acak kamar yang dulu ditempati kedua orang tuaku, mencari sesuatu yang bisa jadi petunjuk akan keberadaan kakekku. Aku masih tidak tahu apa yang ada di pikiran orang tuaku, menyembunyikan keberadaan kakekku dariku. Yah, tapi biarlah itu menjadi urusan di hari lain. Tak ada waktu untuk memikirkan itu. Lagipula, beberapa hari lagi rumahku ini akan dijual.
Dengan harga murah, tentu saja.
Aku akan hidup di rumah kakekku nanti, mungkin membantunya di ladang dan peternakannya. Uang hasil penjualan rumahku nanti bisa dipakai untuk membantu sebagai modal, mungkin? Tapi tidak juga, maka aku menerima saja saat ada yang membeli rumahku dengan harga semurah itu.
Masih mencari petunjuk. Sial, memang mereka sangat pandai menyembunyikannya. Atau bukan di kamar ini kah? Tidak, aku sudah memeriksa semuanya. Lagipula secara logis memang kamar ini yang paling mencurigakan. Akhirnya, di sebuah laci aku menemukan sepucuk surat. Surat yang amplopnya sudah terbuka.
Aku membukanya, dan membaca isinya.
Untuk Jack.
Sebelum kakek meninggal, kakek berpesan padamu, jangan jadi anak yang nakal. Jadilah anak baik, dan janganlah kamu mencari gara-gara atau apapun itu hal-hal yang buruk. Kakek tidak bisa memberimu banyak hal, tapi sebagai permintaan maaf kakek karena jarang bisa bertemu denganmu, terimalah peternakan, ladang dan rumah kakek sebagai warisan dari kakek untukmu. Rawatlah apa yang kakek berikan padamu, dan jaga baik-baik.
Kakekmu yang tidak melupakanmu.
Air mataku menitik saat membacanya. Aku segera menghapusnya sambil mengutuk orang tuaku yang menyembunyikan semuanya dariku. Aku segera melihat amplop untuk mengetahui dari mana surat ini dikirim, yang juga berarti di mana rumah kakekku.
Eden Farms, Mineral Town.
Segera kucatat alamat itu dan aku berkemas. Aku akan segera pergi, untuk menggapai janjiku. Harus. Aku harus pergi kesana, dan menuntaskan pesan kakekku untuk mengurus peternakan itu. Segera aku hubungi orang yang berniat membeli rumahku untuk secepatnya datang dan langsung menyerahkan uangnya.
Setelah mendapat uangnya, aku langsung bergegas. Tak ada waktu yang bisa kubuang. Aku langsung membuka peta dan menemukan letak Mineral Town, yang ternyata terpisah oleh sebuah selat dari kotaku. Aku segera menghubungi agen kapal laut untuk memesan tiket kapal feri. Dan seolah menyadari maksudku untuk tidak sedikitpun membuang waktu, agen itu memberitahuku kapal itu akan berangkat sebentar lagi.
Aku langsung bergegas dan akhirnya aku berhasil tiba di kapal. Perjalanan cukup lama, sekitar beberapa jam dan kulalui dengan membosankan. Aku berusaha melupakan masa laluku disana, dan menyongsong hidup baru yang menungguku di Mineral Town.
Kata Bijak Spongebob
>>Spongebob: "lebih baik tenggelam didalam danau prasejarah daripada menjadi penjahat seumur hidup"
>>Spongebob: "Apa yang biasa kamu lakukan ketika aku pergi?"
Patrick: "Menunggu kamu untuk kembali."
Patrick: "Menunggu kamu untuk kembali."
>>Patrick: "pemujaan yang berlebihan itu tidak sehat"
>>Patrick: "hidup itu sulit, maka biasakanlah"
>>Spongebob: "semua makhluk hebat dalam satu hal, tpi tidak dalam segala hal"
>>Mr. Crab: ''kami tak akan mengecewakan pelanggan walaupun permintaanya macam"
>>Plankton: "lebih baik mencintai dan kehilangan darpada tidak pernah mencintai sama sekali!"
>>Patrick: "Aku memilih bodoh daripada kehilangan sahabatku"
>>Patrick: "Dunia memang kejam bagi mereka yang tidak punya kumis"
>>Squidward: "Seragam adalah simbol ketertindasan"
>>Squidward: "Jangan lakukan sekarang kalau masih bisa dikerjakan besok"
>>Patrick: "pengetahuan tidak bisa menggantikan persahabatan"
>>Spongebob: "Jangan paksa aku bikin lelucon tentang bintang laut"
>>Mr. Crab: "Satu untuk semua...dan semuanya untuk satu"
Label:
--Saikoo Experience--
|
0
komentar
Selasa, 10 Agustus 2010
Nyolot (Copas From Purwa Tama) :D
> > AYO TES SEBERAPA NYOLOTNYA KAMU!
> > .
> > 1.heh siapa lo?
> > lo ya lo
> >
> > 2.gw tanya, LO SIAPA?
> > kasian "lo" lagisakit telinganya panas diomongin mulu
> > .
> > 3.alaah ga penting lo
> > peduli gitu
> > .
> > 4.lo tuh eksis kaga see?
> >si "lo" klo si "lo" gk tau (nama saya 'deny saputra' bukan "lo" ) :P:P:P:P:P
> > .
> > 5.najis lo .blg aja sirik ma gw?
> > kan yg najis si "lo" bukan si deny :P:P:P:P
> > .
> > 6.heh! Asal lo tau ya, cowo lu tuh kmrn nelf gw!
> > eh sepertinya anda salah kirim harusnya ini anda kirim ke si "lo" bukan ke si deny :P:P:P:P:P
> > .
> > 7.bisa apa LO?
> > dah dibilang tanyanya sama si "lo" jangan tanya sama si deny, si deny mana tau :P:P:P:P
> > .
> > 8.kasiaaan deeh pernah diputusin amaa (nama mantan kamu)!
> > sayangnya bukan diputusin tapi yg mutusin :P:P:P:P:P:P:P
> > .
> > 9.APA MAU LO?
> > mau lulus un (kata si "lo")
> > .
> > 10. Lo tuh jelek aja belagu!
> > kan yg jelek si "lo" bukan si deny :P:P:P:P
> > .
> > 11.sory ya, gw MODEL!
> > kan yang model si "gw" bukan anda :P:P:P:P
> >
> > .
> > 12.cowo lo tuh ngejar2 gw! MUTUAN DIKIT DONG LO!
> >dih kan udah si deny bilang itu kan cowonya si "lo" (jg si deny tidak tertarik dengan cowo) :P:P:P:P
> > .
> > 13.ALAY!JELEK!
> > ia klo anda liat ke kaca anda akan liat siapa yg alay dan jelek :P:P:P:P:P
> > .
> > 14.ngajak brantem lo!
> > kan yg ngajak berantem si "lo" bukan si deny :P:P:P:P
> > .
> > 15.cuih ga level!
> > memangnya level anda apa tengkorak? (pb) :P:P:P:P:P:P:P:P:P
> > .
> > 16.ga LAKU YA LO!
> > setau si deny si "lo" itu gk dijual jadi mana laku :P:P:P:P:P
> > .
> > 17.gw jiji liat muka lo!
> > yaudah dibilang kirimnya ke si "lo" jangan ke si deny :P:P:P
> > .
> > 18.gw ini famous!
> > yakan yang famous si "gw" bukan anda :P:P:P:P
> > .
> > 19.TANYA DAAH AMA TEMEN2 LO,SIAPA YANG GA KENAL MA GW?
> > orang temenya si "lo" "gw" ya pasti kenal lah (gak jelas anda)
> > .
> > 20.lo mau 1jt?? Bisa kokk gw ngsh lo skrg!!emgnya eloo?MISKIN!
> > dibilang kasihnya ke "lo" bukan ke si deny, tapi klo mau nunggu si "lo" bentar lagi pulang kok (lagi main ama si "gw")
> > .
> > 21.LIAT AJA BESOK LO!!
> > dibilang si "elo"bukan si deny, anda budek ya
> > .
> > 22.GA SELAMAT!
> > ia aj biar cepat, tapi nanti anda akan saya laporkan ke si saya(orangtua si"lo" biar anda dimarahi huahahahahahahahahahahahah
> > .
> > 1.heh siapa lo?
> > lo ya lo
> >
> > 2.gw tanya, LO SIAPA?
> > kasian "lo" lagisakit telinganya panas diomongin mulu
> > .
> > 3.alaah ga penting lo
> > peduli gitu
> > .
> > 4.lo tuh eksis kaga see?
> >si "lo" klo si "lo" gk tau (nama saya 'deny saputra' bukan "lo" ) :P:P:P:P:P
> > .
> > 5.najis lo .blg aja sirik ma gw?
> > kan yg najis si "lo" bukan si deny :P:P:P:P
> > .
> > 6.heh! Asal lo tau ya, cowo lu tuh kmrn nelf gw!
> > eh sepertinya anda salah kirim harusnya ini anda kirim ke si "lo" bukan ke si deny :P:P:P:P:P
> > .
> > 7.bisa apa LO?
> > dah dibilang tanyanya sama si "lo" jangan tanya sama si deny, si deny mana tau :P:P:P:P
> > .
> > 8.kasiaaan deeh pernah diputusin amaa (nama mantan kamu)!
> > sayangnya bukan diputusin tapi yg mutusin :P:P:P:P:P:P:P
> > .
> > 9.APA MAU LO?
> > mau lulus un (kata si "lo")
> > .
> > 10. Lo tuh jelek aja belagu!
> > kan yg jelek si "lo" bukan si deny :P:P:P:P
> > .
> > 11.sory ya, gw MODEL!
> > kan yang model si "gw" bukan anda :P:P:P:P
> >
> > .
> > 12.cowo lo tuh ngejar2 gw! MUTUAN DIKIT DONG LO!
> >dih kan udah si deny bilang itu kan cowonya si "lo" (jg si deny tidak tertarik dengan cowo) :P:P:P:P
> > .
> > 13.ALAY!JELEK!
> > ia klo anda liat ke kaca anda akan liat siapa yg alay dan jelek :P:P:P:P:P
> > .
> > 14.ngajak brantem lo!
> > kan yg ngajak berantem si "lo" bukan si deny :P:P:P:P
> > .
> > 15.cuih ga level!
> > memangnya level anda apa tengkorak? (pb) :P:P:P:P:P:P:P:P:P
> > .
> > 16.ga LAKU YA LO!
> > setau si deny si "lo" itu gk dijual jadi mana laku :P:P:P:P:P
> > .
> > 17.gw jiji liat muka lo!
> > yaudah dibilang kirimnya ke si "lo" jangan ke si deny :P:P:P
> > .
> > 18.gw ini famous!
> > yakan yang famous si "gw" bukan anda :P:P:P:P
> > .
> > 19.TANYA DAAH AMA TEMEN2 LO,SIAPA YANG GA KENAL MA GW?
> > orang temenya si "lo" "gw" ya pasti kenal lah (gak jelas anda)
> > .
> > 20.lo mau 1jt?? Bisa kokk gw ngsh lo skrg!!emgnya eloo?MISKIN!
> > dibilang kasihnya ke "lo" bukan ke si deny, tapi klo mau nunggu si "lo" bentar lagi pulang kok (lagi main ama si "gw")
> > .
> > 21.LIAT AJA BESOK LO!!
> > dibilang si "elo"bukan si deny, anda budek ya
> > .
> > 22.GA SELAMAT!
> > ia aj biar cepat, tapi nanti anda akan saya laporkan ke si saya(orangtua si"lo" biar anda dimarahi huahahahahahahahahahahahah
Label:
Nyolot :D
|
0
komentar
Minggu, 01 Agustus 2010
TONIGHT, TONIGHT, TONIGHT (Bleach OP 4)
Woke up with yawning, it's dawning I'm still alive Turned on a radio To start up new day As goddamned D.J. chattered How to survive Amazing news got over On that air wave Tonight, Love is rationed Tonight, Across the nation Tonight Love reflects world wide Almost another day She's a shooting star Good-night Good-night She's a shooting star Good-bye...
Label:
My Lyrics
|
0
komentar
Aoi Mirai - Tenkai no Shichi Ryuu (Blue Dragon OP 2)
Tooi chiheisen Te wo sashinoberu youni Kibou no hi ga nobori Kyou ga hajimaru Yume ha itsudatte Koko kara mienai mono Tashikameru tameni ha Susumu shika nai Mou iiwake ha Nomikonde Hitori tachiagarou Aoku somare! Kimi no mirai Yoru ga akete tsuzuku michi yo Kokoro no oku fuan wo tsukuru Sono kage wo terashite hoshii Aoku somare! Kimi no mirai Miageta sora mabushisugiru Itsuka kitto jibun no ashi de Chizu mo nai yakusoku no chi he Akirameru koto ha Ichiban kantan demo Umareta imi wo shiri Mezashitakunaru Kizutsuita koto ya Kizutsuketa koto mo aru Kanashimi wo daite Aruite ikou SO sono namida Nuguinagara Ai wo ima sakebou! Ao no jidai subete wasure Daiji nano ha kako yori kyou Miwatasu kagiri kusa no nami yo Kono kaze wo chansu ni shitai Ao no jidai subete wasure Nagai jinsei ichido kurai ha Muga muchuu de hitotsu no iro ni... Mayoinai kesshin no iro Aoku somare! Kimi no mirai Yoru ga akete tsuzuku michi yo Kokoro no oku fuan wo tsukuru Sono kage wo terashite hoshii Aoku somare! Kimi no mirai Miageta sora mabushisugiru Itsuka kitto jibun no ashi de Chizu mo nai yakusoku no chi he
Label:
My Lyrics
|
0
komentar
Langganan:
Postingan (Atom)
Blogger Statistic
Blog Archive
-
▼
2010
(44)
-
▼
Agustus
(10)
- Aoi Mirai - Tenkai no Shichi Ryuu (Blue Dragon OP 2)
- TONIGHT, TONIGHT, TONIGHT (Bleach OP 4)
- Nyolot (Copas From Purwa Tama) :D
- Kata Bijak Spongebob
- Harvest Moon Fanfic (Chapter 1 - Promised Land)
- Harvest Moon Fanfic (Chapter 2 - The Beginning of ...
- Diamond, Pearl, Platinum
- Harvest Moon Fanfic (Chapter 3 - Townsfolk)
- Harvest Moon Fanfic (Chapter 4 - The Book, The Gir...
- Harvest Moon Fanfic (Chapter 5 - Grandmother Nurse)
-
▼
Agustus
(10)
Label
- --Saikoo Experience-- (37)
- Awesome Things (48)
- Cerita (18)
- My Fanfic (16)
- My Info (27)
- My Lyrics (10)
- My Poem (8)
- Nyolot :D (22)
- Something (3)
Blog Teman
Blog Archive
-
▼
2010
(44)
-
▼
Agustus
(10)
- Harvest Moon Fanfic (Chapter 5 - Grandmother Nurse)
- Harvest Moon Fanfic (Chapter 4 - The Book, The Gir...
- Harvest Moon Fanfic (Chapter 3 - Townsfolk)
- Diamond, Pearl, Platinum
- Harvest Moon Fanfic (Chapter 2 - The Beginning of ...
- Harvest Moon Fanfic (Chapter 1 - Promised Land)
- Kata Bijak Spongebob
- Nyolot (Copas From Purwa Tama) :D
- TONIGHT, TONIGHT, TONIGHT (Bleach OP 4)
- Aoi Mirai - Tenkai no Shichi Ryuu (Blue Dragon OP 2)
-
▼
Agustus
(10)
Re-Writeless
Meaningless article, but useful in the future
Hell Crew
About Me
- Deny Saputra
- A player of world, nerd, disguiser, and a scholar of SMAN 12 Jakarta. For further information: denyjfp@gmail.com