Rabu, 13 Oktober 2010
Harvest Moon Fanfic (Chapter 8 - Yodel Smith Cutter)
Keluar dari Poultry Farm, kuteruskan menuju Yodel Farm. Aku sekarang tahu tidak ada benih yang dijual disana, tapi aku ingin kenal dengan mereka. Maka kuteruskanlah. Meskipun untuk beberapa saat aku melihat kembali ke belakang terlebih dahulu. Keraguan, itulah. Angin berhembus dengan lembut, memelukku seperti seorang ibu yang memintaku meneruskan perjalanan.
Ternyata aku masih rindu. Kenapa? Bukankah aku benci? Mungkin ini semua hanya akibat kelelahan saja. Aku berjalan kembali dan sambil melihat sekeliling, kembali sadar bahwa ternyata pemandangan dan tata kota Mineral Town ini.. indah. Pohon yang rindang dan padang bunga ini dapat menenangkan hatiku bersama angin semilir yang tertahan.
Tanpa terasa tibalah aku di Yodel Farm. Lebih besar lahannya, namun lebih kecil bangunannya dibanding Poultry Farm tadi. Tapi akankah ada seorang gadis lagi disini? Rasanya beberapa hari ini aku selalu bertemu gadis, bukan seorang pemuda. Tapi setidak-tidaknya gadis lebih enak dipandang.
Mendadak kulihat seorang anak perempuan kecil sedang bermain-main, dan seorang tua yang terlihat menemaninya. Hanya satu hal logis yang bisa kulakukan : menyapa mereka.
“Halo!”
Orang tua itu menoleh lebih dulu, “Oh! Anda..”
“Jack, pemilik baru Eden Farm.” Berapa kali aku mengucapkan kalimat itu. Sepuluh?
“Ah, Jack. Aku pemilik Yodel Farm, Barley. Dan ini cucuku May. Ayo kenalan, May.”
May, anak gadis itu, menyalamiku dengan sopan. Aku hanya membalas dengan senyuman. Seperti pada penduduk desa lainnya, aku menyempatkan diri mengobrol dengan mereka berdua. Setelah banyak mengobrol, aku minta izin untuk pergi namun kakek itu menanyakan padaku kemana aku akan pergi.
“Toko.” Kataku. Tidak usah dijelaskan karena itu toko satu-satunya.
“Ah, kebetulan.. bisa aku menitip? Aku harus membeli coklat untuk May kecilku ini.. ini uangnya.” Tidak usah menunggu persetujuan lebih dahulu, sungguh sopan.
Tanpa banyak basa-basi, aku pamit dan kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini aku berlari. Berlari tanpa mempedulikan pemandangan. Seolah-olah tanpa peduli akan masalah. Aku tidak punya banyak masalah saat ini, jadi apa harus kupikirkan? Tidak perlu. Aku berlari, singkat kata, hingga mencapai toko yang dimaksud. Di sebelah klinik yang aku yakin Elli bekerja disana. Eh tunggu.. di sebelah klinik? Jadi.. ini toko yang disebut Karen itu?? Tidak mungkin aku mundur.
Aku membuka pintu toko dengan.. perlahan. Saat dibuka, penampilan toko itu dari dalam tidak begitu luas, namun penataannya rapih. Saat aku melihat-lihat etalase, suara seseorang kembali mengejutkanku. Berapa kali ini sudah terjadi?
“Halo, Jack!”
“Oh! Siapa?”
“Aku pemilik toko ini, Jeff!” dengan bangga dia menjawab. “Aku sudah tahu tentangmu!”
Dia memperkenalkanku pada barang-barang yang dijual di toko ini. Ternyata cukup banyak, bahkan perkataan Popuri bahwa disini menjual benih itu benar. Disini benar-benar toko kelontong yang memenuhi semua kebutuhan. Setelah aku selesai mengobrol dengannya, aku kembali melihat etalase benih-benih tanaman. Saat itulah seorang tua masuk. Dia memakai baju model lama, tubuhnya pendek dan rambutnya putih karena uban. Melihatku dia langsung menghampiriku, entah kenapa gerangan.
“Ah, kamu pasti Jack!”
“Ya, memang saya. Anda?”
“Saibara, pandai besi! Kalau kau butuh alat berladang, minta saja padaku! Tapi tidak gratis..”
Orang tua ini sebenarnya bersifat periang dan banyak bicara, seperti kebanyakan orang tua lainnya. Mereka punya pengalaman lebih banyak dari orang lain, jadi jika berbicara wajarlah jika mereka berbicara lebih banyak karena mereka punya lebih banyak yang ingin dibicarakan, dan juga lebih sedikit teman bicara karena teman-teman mereka sudah banyak yang meninggal. Aku merasa kagum sekaligus kasihan pada mereka. Sungguh kontras, tapi aku tidak pantas meratapinya karena aku pun akan menjadi salah satu dari mereka kelak.
Lama-lama aku lelah mengobrol dengannya, maka aku mengambil alasan bahwa aku sedang dititipi belanjaan oleh seseorang. Alasan yang benar. Ia menerimanya dan aku mengambil beberapa batangan coklat yang aku janjikan (meskipun sebenarnya tidak, tapi dibandingkan mengecewakan orang lain lebih baik aku patuh). Terlintas kembali di pikiranku untuk membeli benih. Tapi.. oh, tidak! Uangku tidak cukup! Sial!
Tiba-tiba, muncullah dua wanita dari bagian belakang toko. Karen, dan satu orang lagi sepertinya ibunya. Karen?
“Ka-kamu? Jack?”
“Oh, jadi dia Jack?” wanita satunya langsung menghampiriku. “Aku Sasha, mengurus toko ini bersama suamiku Jeff. Karen ini anakku. Sepertinya kalian sudah saling kenal, ya?”
Mendadak Karen memotong. “Sa-saling kenal apanya? Aku cuma kebetulan bertemu saja kok waktu itu!”
Jadi kau memukul perutku juga kebetulan? Logikamu bagus.
Sasha mencairkan suasana, “Oh ya, Jack, kamu ingin beli apa?”
“Eng.. aku.. sebenarnya aku ingin membeli benih tanaman, tapi.. aku tidak punya uang..” dengan nada memelas, silakan bayangkan sendiri bagaimana aku mengemis.
Namun, yang tidak kuduga adalah siapa yang menolongku.
“Kamu tidak punya uang? Sungguh bodoh! Sini, aku berikan kamu benih!” dia langsung merebut benih berlabel benih lobak dari etalase dan memberikannya padaku. Sambil memalingkan muka dia berkata,
“Bu-bukan aku mau menolong, tapi aku hanya kasihan saja melihat orang sebodoh kamu tidak punya uang! Tidak apa-apa, ma? Pa?”
Ibunya menggeleng dengan senyuman. Hanya ayahnya yang terlihat agak tidak rela, namun satu tatapan penuh arti dari Sasha membuat Jeff urung berbicara. Yang penting, aku mendapat benih gratis. Aku langsung berniat membayar saat seorang pria lagi datang dari luar. Badannya tinggi tegap dan besar, jenggotnya lebat. Terlihat sangar. Tidak seperti yang lainnya yang menghampiriku, dia hanya melirik sebentar kemudian tidak menghiraukanku.
Saat aku membayar coklat itu pada Jeff di kasir, aku sempat berbisik :
“Siapa dia?”
“Oh, pria itu? Dia Gotz, si tukang kayu merangkap tukang bangunan. Kalau kau mau merenovasi rumah, bilang saja padanya. Dia agak pendiam tapi sebenarnya tidak galak.”
Aku tidak menjawab lagi. Kubayar coklat itu dan sambil pamit aku bergegas keluar. Aku sudah ingin bekerja di ladang. Setelah memberikan coklat ini, tentunya.
Ternyata aku masih rindu. Kenapa? Bukankah aku benci? Mungkin ini semua hanya akibat kelelahan saja. Aku berjalan kembali dan sambil melihat sekeliling, kembali sadar bahwa ternyata pemandangan dan tata kota Mineral Town ini.. indah. Pohon yang rindang dan padang bunga ini dapat menenangkan hatiku bersama angin semilir yang tertahan.
Tanpa terasa tibalah aku di Yodel Farm. Lebih besar lahannya, namun lebih kecil bangunannya dibanding Poultry Farm tadi. Tapi akankah ada seorang gadis lagi disini? Rasanya beberapa hari ini aku selalu bertemu gadis, bukan seorang pemuda. Tapi setidak-tidaknya gadis lebih enak dipandang.
Mendadak kulihat seorang anak perempuan kecil sedang bermain-main, dan seorang tua yang terlihat menemaninya. Hanya satu hal logis yang bisa kulakukan : menyapa mereka.
“Halo!”
Orang tua itu menoleh lebih dulu, “Oh! Anda..”
“Jack, pemilik baru Eden Farm.” Berapa kali aku mengucapkan kalimat itu. Sepuluh?
“Ah, Jack. Aku pemilik Yodel Farm, Barley. Dan ini cucuku May. Ayo kenalan, May.”
May, anak gadis itu, menyalamiku dengan sopan. Aku hanya membalas dengan senyuman. Seperti pada penduduk desa lainnya, aku menyempatkan diri mengobrol dengan mereka berdua. Setelah banyak mengobrol, aku minta izin untuk pergi namun kakek itu menanyakan padaku kemana aku akan pergi.
“Toko.” Kataku. Tidak usah dijelaskan karena itu toko satu-satunya.
“Ah, kebetulan.. bisa aku menitip? Aku harus membeli coklat untuk May kecilku ini.. ini uangnya.” Tidak usah menunggu persetujuan lebih dahulu, sungguh sopan.
Tanpa banyak basa-basi, aku pamit dan kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini aku berlari. Berlari tanpa mempedulikan pemandangan. Seolah-olah tanpa peduli akan masalah. Aku tidak punya banyak masalah saat ini, jadi apa harus kupikirkan? Tidak perlu. Aku berlari, singkat kata, hingga mencapai toko yang dimaksud. Di sebelah klinik yang aku yakin Elli bekerja disana. Eh tunggu.. di sebelah klinik? Jadi.. ini toko yang disebut Karen itu?? Tidak mungkin aku mundur.
Aku membuka pintu toko dengan.. perlahan. Saat dibuka, penampilan toko itu dari dalam tidak begitu luas, namun penataannya rapih. Saat aku melihat-lihat etalase, suara seseorang kembali mengejutkanku. Berapa kali ini sudah terjadi?
“Halo, Jack!”
“Oh! Siapa?”
“Aku pemilik toko ini, Jeff!” dengan bangga dia menjawab. “Aku sudah tahu tentangmu!”
Dia memperkenalkanku pada barang-barang yang dijual di toko ini. Ternyata cukup banyak, bahkan perkataan Popuri bahwa disini menjual benih itu benar. Disini benar-benar toko kelontong yang memenuhi semua kebutuhan. Setelah aku selesai mengobrol dengannya, aku kembali melihat etalase benih-benih tanaman. Saat itulah seorang tua masuk. Dia memakai baju model lama, tubuhnya pendek dan rambutnya putih karena uban. Melihatku dia langsung menghampiriku, entah kenapa gerangan.
“Ah, kamu pasti Jack!”
“Ya, memang saya. Anda?”
“Saibara, pandai besi! Kalau kau butuh alat berladang, minta saja padaku! Tapi tidak gratis..”
Orang tua ini sebenarnya bersifat periang dan banyak bicara, seperti kebanyakan orang tua lainnya. Mereka punya pengalaman lebih banyak dari orang lain, jadi jika berbicara wajarlah jika mereka berbicara lebih banyak karena mereka punya lebih banyak yang ingin dibicarakan, dan juga lebih sedikit teman bicara karena teman-teman mereka sudah banyak yang meninggal. Aku merasa kagum sekaligus kasihan pada mereka. Sungguh kontras, tapi aku tidak pantas meratapinya karena aku pun akan menjadi salah satu dari mereka kelak.
Lama-lama aku lelah mengobrol dengannya, maka aku mengambil alasan bahwa aku sedang dititipi belanjaan oleh seseorang. Alasan yang benar. Ia menerimanya dan aku mengambil beberapa batangan coklat yang aku janjikan (meskipun sebenarnya tidak, tapi dibandingkan mengecewakan orang lain lebih baik aku patuh). Terlintas kembali di pikiranku untuk membeli benih. Tapi.. oh, tidak! Uangku tidak cukup! Sial!
Tiba-tiba, muncullah dua wanita dari bagian belakang toko. Karen, dan satu orang lagi sepertinya ibunya. Karen?
“Ka-kamu? Jack?”
“Oh, jadi dia Jack?” wanita satunya langsung menghampiriku. “Aku Sasha, mengurus toko ini bersama suamiku Jeff. Karen ini anakku. Sepertinya kalian sudah saling kenal, ya?”
Mendadak Karen memotong. “Sa-saling kenal apanya? Aku cuma kebetulan bertemu saja kok waktu itu!”
Jadi kau memukul perutku juga kebetulan? Logikamu bagus.
Sasha mencairkan suasana, “Oh ya, Jack, kamu ingin beli apa?”
“Eng.. aku.. sebenarnya aku ingin membeli benih tanaman, tapi.. aku tidak punya uang..” dengan nada memelas, silakan bayangkan sendiri bagaimana aku mengemis.
Namun, yang tidak kuduga adalah siapa yang menolongku.
“Kamu tidak punya uang? Sungguh bodoh! Sini, aku berikan kamu benih!” dia langsung merebut benih berlabel benih lobak dari etalase dan memberikannya padaku. Sambil memalingkan muka dia berkata,
“Bu-bukan aku mau menolong, tapi aku hanya kasihan saja melihat orang sebodoh kamu tidak punya uang! Tidak apa-apa, ma? Pa?”
Ibunya menggeleng dengan senyuman. Hanya ayahnya yang terlihat agak tidak rela, namun satu tatapan penuh arti dari Sasha membuat Jeff urung berbicara. Yang penting, aku mendapat benih gratis. Aku langsung berniat membayar saat seorang pria lagi datang dari luar. Badannya tinggi tegap dan besar, jenggotnya lebat. Terlihat sangar. Tidak seperti yang lainnya yang menghampiriku, dia hanya melirik sebentar kemudian tidak menghiraukanku.
Saat aku membayar coklat itu pada Jeff di kasir, aku sempat berbisik :
“Siapa dia?”
“Oh, pria itu? Dia Gotz, si tukang kayu merangkap tukang bangunan. Kalau kau mau merenovasi rumah, bilang saja padanya. Dia agak pendiam tapi sebenarnya tidak galak.”
Aku tidak menjawab lagi. Kubayar coklat itu dan sambil pamit aku bergegas keluar. Aku sudah ingin bekerja di ladang. Setelah memberikan coklat ini, tentunya.
Sabtu, 09 Oktober 2010
Harvest Moon Fanfic (Chapter 7 - Fellow Farmers)
Bangun. Kembali memulai hari yang baru. Lagi. Lagi, kembali dalam kebersahajaan sehari-hari yang akan dan harus kujalani seterusnya. Tidak. Tidak dalam kesenangan, tidak dalam kekayaan, hanya dalam kerja keras. Karena memang seharusnya seseorang mendapatkan sebuah kebahagiaan dengan kerja keras. Atau begitulah impian semua orang. Kerja keras itu sulit.
Bahkan mengangkat diriku sendiri dari tempat tidur ini pun sulit. Ayolah, jika ini saja kau tidak bisa, bagaimana kau bisa membanting tulang nanti? Tidak, aku tidak ingin tulangku dibanting. Sakit aku. Bukan, bukan begitu! Maksudku kau harus kerja keras, untuk dapatkan impian! Tapi impianku bukan sesederhana itu. Sudahlah, aku akan bangun. Nanti pun aku akan ditanya lagi soal impian itu.
Sebenarnya, aku belum punya impian. Atau tidak? Keterlaluan, tapi di masa seperti ini hal itu sudah menjadi normal. Sudah, hal seperti ini bila dibahas akan makin memanjang. Aku langsung bangun dan mengenyahkan pikiran-pikiran aneh itu, menenggelamkannya ke dasar terdalam lautan pikiranku. Aku segera melakukan rutinitas pagi hari : Mandi, makan dan bersiap mengolah ladang.
Setelah selesai, aku ambil cangkul untuk menggarap ladang. Hanya satu hal yang terapung di lautan pikiran. Kerja keras! Camkan itu baik-baik, atau kalau tidak kamu pasti celaka! Ya ya, aku tahu. Tak usah diberitahu dua kali. Aku tidak sedang bermain-main padamu, Jack. Ya-ya.
Tunggu dulu, bagaimana caranya aku bisa berladang bila tak ada benih yang ingin ditanam?
Sepertinya aku harus minta bantuan orang lain. Aku melihat kembali peta “kota” yang lusuh di sakuku, teremas-remas karena dimasukkan dengan paksa tadi. Tak usah dipikirkan, yang penting masih bisa terbaca. Selain “peternakan” Eden Farm ini (dengan tanda kutip, karena sebenarnya bukan) ada dua peternakan lagi : Poultry Farm dan Yodel Farm. Mungkin aku bisa- tidak, kamu harus. Iya, iya, berhenti memarahiku. Aku akan ke sana.
Jadi, aku sekarang berjalan menuju ke sana, di sebelah timur peternakanku. Kutapaki jalan batu bata merah itu satu persatu. Ya, aku melihat ke bawah saat berjalan, tak usah kau tanya lagi kenapa aku berani menyebut-nyebut bata merah itu. Sudahlah. Aku terus berjalan hingga akhirnya terlihatlah peternakan di sisi kanan jalan.
Tapi sepertinya bukan ini peternakan yang kumaksud. Apa ini benar Poultry Farm? Terasa seperti peternakan ayam daripada peternakan serbaguna; tak ada ladang sama sekali. Tak apalah, biar aku masuk dulu. Maka, kulangkahkan kakiku satu demi persatu dengan lambat (tidak, tidak dilebih-lebihkan karena memang saya ragu).
Tiba-tiba, seekor ayam melewatiku dengan cepat. Aku, entah mengapa, bergerak sigap dan menangkap ayam itu. Mungkin aku sedang.. punya firasat? Mungkin saja. Setelah aku menangkapnya, tiba-tiba muncul seorang gadis berlari ke arahku.
“Tommy! Jangan lari! Cepat kembali!”
Gadis itu berhenti di depanku. Aku tidak bisa tidak memandangnya. Dilihat sepintas, dia cukup manis. Rambutnya merah muda dan matanya bersinar. Posturnya yang mungil dan rambut panjangnya menciptakan sebuah kontras yang indah. Dan dari caranya berjalan, sepertinya ia agak kekanakan.
“Hei, kamu lihat ayam yang lari tadi.. Oh, itukah?”
Aku agak tidak mengerti, tapi sepertinya memang ayam yang kupegang yang dia maksud. Aku menyerahkan ayam itu padanya.
“Ah, terima kasih! Eh, tapi… rasanya aku belum pernah melihatmu sebelumnya.”
“Oh! Aku… Jack, pemilik baru Eden Farm.”
“Jack? Oh.. jadi kamu Jack ya? Kenalkan, aku Popuri. Aku mengurus peternakan ayam ini, Poultry Farm.”
Dia mengulurkan tangan kanannya. Aku harus sedikit menunduk untuk berjabat tangan dengannya, karena ia memang agak pendek.
“Ayo masuk!” tiba-tiba, dia langsung mengajakku masuk. Aku tidak bisa menolak dan mengikutinya ke dalam. Tapi dimana rumahnya? Aku melihat-lihat ke sekeliling namun rumah itu tak ada. Yang ada hanya gudang besar. Namun tiba-tiba Popuri masuk ke gudang itu. Apa maksudnya ini? Sudahlah, lebih baik aku ikut masuk.
Tapi saat aku masuk.. ternyata itu bukan gudang. Dari luarnya saja terlihat seperti gudang, namun di dalam gudang itu disulap menjadi rumah sederhana yang tertata rapih dan apik. Aku melihat sekeliling rumah dan menyadari bahwa, sekali lagi, penampilan luar adalah salah satu alat menipu yang paling praktis. Sepertinya rumah ini akan aman dari semua jenis pencuri kecuali maling ayam. Tapi Popuri tidak ada dimanapun.
Kemana dia?
Mendadak dia muncul bersama dua orang lain dari tangga yang menghubungkan dengan lantai atas. Yang satu seorang pemuda, memakai ikat kepala, berambut pirang dan memakai kacamata bulat. Garis wajahnya menandakan ia seorang pekerja keras. Sementara satu lagi seorang wanita yang kira-kira berumur 40-an awal, namun keanggunan masa lalunya masih tersisa. Sepertinya pemuda itu kakak Popuri, dan wanita itu ibu mereka.
“Jack, kenalkan. Ini kakakku Rick, dan ini ibuku Lillia.”
Dugaanku benar. Singkatnya , kami berkenalan. Mengenai percakapan kami selanjutnya tidak usah dibicarakan secara terlalu detil disini, karena isinya kurang-lebih mirip dengan percakapanku dan orang-orang lain di kota ini. Hanya saja, dapat kutangkap bahwa Rick cukup protektif terhadap Popuri hingga mereka bisa bertengkar, dan ibu mereka Lillia rupanya sedang sakit. Dan ternyata memang benar bahwa Poultry Farm itu peternakan ayam.
“Apa aku bisa beli benih disini?” tanyaku, agak ragu sekarang.
“Hm? Apa? Tidak, Jack. Disini kita tidak menjual benih. Mungkin, kalau tidak salah di toko ada.” Popuri yang menjawab.
“Di toko? Toko mana?”
“Aduh, kau memang orang baru ya, jadi kau tidak tahu. Sebenarnya kamu tinggal lurus saja terus, setelah sampai di Alun-Alun kau ambil jalan ke utara terus sampai kamu temukan toko itu di sebelah klinik.” Sekarang Rick.
“Oh, terima kasih! Kalau begitu aku pergi dulu, masih banyak yang harus kuurus. Tak apa kan?”
“Tidak, tidak apa-apa. Lain kali datang lagi!” ini Lillia.
Aku pamit dan bergegas pergi dari sana. Tugasku masih banyak, sayangnya. Aku juga belum mengunjungi Yodel Farm. Mungkin sekalian mampir dahulu kesana..
Bahkan mengangkat diriku sendiri dari tempat tidur ini pun sulit. Ayolah, jika ini saja kau tidak bisa, bagaimana kau bisa membanting tulang nanti? Tidak, aku tidak ingin tulangku dibanting. Sakit aku. Bukan, bukan begitu! Maksudku kau harus kerja keras, untuk dapatkan impian! Tapi impianku bukan sesederhana itu. Sudahlah, aku akan bangun. Nanti pun aku akan ditanya lagi soal impian itu.
Sebenarnya, aku belum punya impian. Atau tidak? Keterlaluan, tapi di masa seperti ini hal itu sudah menjadi normal. Sudah, hal seperti ini bila dibahas akan makin memanjang. Aku langsung bangun dan mengenyahkan pikiran-pikiran aneh itu, menenggelamkannya ke dasar terdalam lautan pikiranku. Aku segera melakukan rutinitas pagi hari : Mandi, makan dan bersiap mengolah ladang.
Setelah selesai, aku ambil cangkul untuk menggarap ladang. Hanya satu hal yang terapung di lautan pikiran. Kerja keras! Camkan itu baik-baik, atau kalau tidak kamu pasti celaka! Ya ya, aku tahu. Tak usah diberitahu dua kali. Aku tidak sedang bermain-main padamu, Jack. Ya-ya.
Tunggu dulu, bagaimana caranya aku bisa berladang bila tak ada benih yang ingin ditanam?
Sepertinya aku harus minta bantuan orang lain. Aku melihat kembali peta “kota” yang lusuh di sakuku, teremas-remas karena dimasukkan dengan paksa tadi. Tak usah dipikirkan, yang penting masih bisa terbaca. Selain “peternakan” Eden Farm ini (dengan tanda kutip, karena sebenarnya bukan) ada dua peternakan lagi : Poultry Farm dan Yodel Farm. Mungkin aku bisa- tidak, kamu harus. Iya, iya, berhenti memarahiku. Aku akan ke sana.
Jadi, aku sekarang berjalan menuju ke sana, di sebelah timur peternakanku. Kutapaki jalan batu bata merah itu satu persatu. Ya, aku melihat ke bawah saat berjalan, tak usah kau tanya lagi kenapa aku berani menyebut-nyebut bata merah itu. Sudahlah. Aku terus berjalan hingga akhirnya terlihatlah peternakan di sisi kanan jalan.
Tapi sepertinya bukan ini peternakan yang kumaksud. Apa ini benar Poultry Farm? Terasa seperti peternakan ayam daripada peternakan serbaguna; tak ada ladang sama sekali. Tak apalah, biar aku masuk dulu. Maka, kulangkahkan kakiku satu demi persatu dengan lambat (tidak, tidak dilebih-lebihkan karena memang saya ragu).
Tiba-tiba, seekor ayam melewatiku dengan cepat. Aku, entah mengapa, bergerak sigap dan menangkap ayam itu. Mungkin aku sedang.. punya firasat? Mungkin saja. Setelah aku menangkapnya, tiba-tiba muncul seorang gadis berlari ke arahku.
“Tommy! Jangan lari! Cepat kembali!”
Gadis itu berhenti di depanku. Aku tidak bisa tidak memandangnya. Dilihat sepintas, dia cukup manis. Rambutnya merah muda dan matanya bersinar. Posturnya yang mungil dan rambut panjangnya menciptakan sebuah kontras yang indah. Dan dari caranya berjalan, sepertinya ia agak kekanakan.
“Hei, kamu lihat ayam yang lari tadi.. Oh, itukah?”
Aku agak tidak mengerti, tapi sepertinya memang ayam yang kupegang yang dia maksud. Aku menyerahkan ayam itu padanya.
“Ah, terima kasih! Eh, tapi… rasanya aku belum pernah melihatmu sebelumnya.”
“Oh! Aku… Jack, pemilik baru Eden Farm.”
“Jack? Oh.. jadi kamu Jack ya? Kenalkan, aku Popuri. Aku mengurus peternakan ayam ini, Poultry Farm.”
Dia mengulurkan tangan kanannya. Aku harus sedikit menunduk untuk berjabat tangan dengannya, karena ia memang agak pendek.
“Ayo masuk!” tiba-tiba, dia langsung mengajakku masuk. Aku tidak bisa menolak dan mengikutinya ke dalam. Tapi dimana rumahnya? Aku melihat-lihat ke sekeliling namun rumah itu tak ada. Yang ada hanya gudang besar. Namun tiba-tiba Popuri masuk ke gudang itu. Apa maksudnya ini? Sudahlah, lebih baik aku ikut masuk.
Tapi saat aku masuk.. ternyata itu bukan gudang. Dari luarnya saja terlihat seperti gudang, namun di dalam gudang itu disulap menjadi rumah sederhana yang tertata rapih dan apik. Aku melihat sekeliling rumah dan menyadari bahwa, sekali lagi, penampilan luar adalah salah satu alat menipu yang paling praktis. Sepertinya rumah ini akan aman dari semua jenis pencuri kecuali maling ayam. Tapi Popuri tidak ada dimanapun.
Kemana dia?
Mendadak dia muncul bersama dua orang lain dari tangga yang menghubungkan dengan lantai atas. Yang satu seorang pemuda, memakai ikat kepala, berambut pirang dan memakai kacamata bulat. Garis wajahnya menandakan ia seorang pekerja keras. Sementara satu lagi seorang wanita yang kira-kira berumur 40-an awal, namun keanggunan masa lalunya masih tersisa. Sepertinya pemuda itu kakak Popuri, dan wanita itu ibu mereka.
“Jack, kenalkan. Ini kakakku Rick, dan ini ibuku Lillia.”
Dugaanku benar. Singkatnya , kami berkenalan. Mengenai percakapan kami selanjutnya tidak usah dibicarakan secara terlalu detil disini, karena isinya kurang-lebih mirip dengan percakapanku dan orang-orang lain di kota ini. Hanya saja, dapat kutangkap bahwa Rick cukup protektif terhadap Popuri hingga mereka bisa bertengkar, dan ibu mereka Lillia rupanya sedang sakit. Dan ternyata memang benar bahwa Poultry Farm itu peternakan ayam.
“Apa aku bisa beli benih disini?” tanyaku, agak ragu sekarang.
“Hm? Apa? Tidak, Jack. Disini kita tidak menjual benih. Mungkin, kalau tidak salah di toko ada.” Popuri yang menjawab.
“Di toko? Toko mana?”
“Aduh, kau memang orang baru ya, jadi kau tidak tahu. Sebenarnya kamu tinggal lurus saja terus, setelah sampai di Alun-Alun kau ambil jalan ke utara terus sampai kamu temukan toko itu di sebelah klinik.” Sekarang Rick.
“Oh, terima kasih! Kalau begitu aku pergi dulu, masih banyak yang harus kuurus. Tak apa kan?”
“Tidak, tidak apa-apa. Lain kali datang lagi!” ini Lillia.
Aku pamit dan bergegas pergi dari sana. Tugasku masih banyak, sayangnya. Aku juga belum mengunjungi Yodel Farm. Mungkin sekalian mampir dahulu kesana..
Langganan:
Postingan (Atom)
Blogger Statistic
Label
- --Saikoo Experience-- (37)
- Awesome Things (48)
- Cerita (18)
- My Fanfic (16)
- My Info (27)
- My Lyrics (10)
- My Poem (8)
- Nyolot :D (22)
- Something (3)
Blog Teman
Re-Writeless
Meaningless article, but useful in the future
Hell Crew
About Me
- Deny Saputra
- A player of world, nerd, disguiser, and a scholar of SMAN 12 Jakarta. For further information: denyjfp@gmail.com