Senin, 06 September 2010

Harvest Moon Fanfic (Chapter 6 - Church)

Matahari bersinar lebih terang saat aku berjalan, dan udara berubah menjadi hangat. Ini baru musim semi. Serasa diselimuti oleh udara ini saja aku. Harris dan Thomas masih berjalan di depanku, karena aku tidak tahu jalan ke gereja. Aku ini buta arah sedemikian parahnya, bahkan sampai di kota kecil seperti ini saja aku mudah tersesat. Meskipun begitu, sebenarnya aku tahu gereja itu.

Saat tersesat ketika pertama kali datang di kota ini, aku melihatnya. Aku melihat gereja kecil itu, yang bentuknya memang mirip gereja tapi karena kecil jadi lebih seperti kapel. Aku melihat seorang pendeta sedang berdiri disana, di depan gereja entah sedang apa. Aku tidak tahu apa yang dilakukannya, tapi yang jelas keberadaannya menimbulkan sebuah aura yang.. berbeda. Maka, mungkin sekarang aku bisa kembali menemuinya.

Thomas dan Harris terus berjalan dengan lambat sembari mengobrol. Mengobrolkan hal yang aku tidak tahu. Tentang keadaan masyarakat di luar saat ini. Tentang kebusukan. Tentang hal-hal yang menggerogoti hidup manusia. Tentang bagaimana orang-orang pindah dari kota kecil ini untuk mencari penghidupan di kota. Aku punya pendapatku sendiri, tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakannya. Mungkin nanti, kalau aku berkunjung lagi ke rumahnya.

Aku punya urusan yang lebih penting. Sebenarnya tidak terlalu penting mungkin, bagi sebagian dari kalian. Tapi untukku anehnya itu penting meskipun aku tahu sebenarnya masih banyak hal yang lebih penting. Tapi pikiranku hanya.. yah, mengutamakan hal ini karena rasa penasaran yang sudah bertahta di otakku. Aku tak bisa memikirkan hal lain. Aku ingin tahu siapa dia, yang berjanji denganku dulu.

Setelah berjalan beberapa lama, kami tiba di gereja kecil itu. Memang meskipun kecil, namun gereja itu cukup terawat. Di samping kirinya terdapat sebuah pemakaman kecil sederhana dengan beberapa makam meskipun masih terdapat ruang kosong. Namun, bahkan meskipun ada sebuah pemakaman tapi suasananya tenang, tidak mencekam seperti pemakaman pada umumnya.

Kami bertiga memasuki gereja tepat sebelum kebaktian rutin dimulai. Banyak orang sudah duduk di kursi-kursi panjang. Tanpa banyak bicara, kami bertiga duduk di kursi di jajaran belakang. Beberapa orang menoleh saat aku duduk. Yah, aku tahu seorang pendatang pasti jadi pusat perhatian. Dimanapun itu.

Tanpa banyak berlama-lama, kebaktian segera dimulai. Selama beberapa jam, aku tidak terlalu memerhatikan dan lebih sering menoleh ke sekeliling. Banyak orang, memang banyak orang ada disini untuk ukuran kota kecil seperti ini. Beberapa dari mereka mengikuti kebaktian dan ceramah pendeta dengan tenang dan seksama, tapi beberapa lainnya terlihat mengantuk dan malas.

Akhirnya kebaktian panjang itu selesai. Jujur, aku merasa mengantuk mendengarkan cerita sang pendeta yang amat panjang. Untungnya sekarang aku bisa pulang, dan untungnya lagi aku tadi memperhatikan jalan dan masih ingat jalan mana yang harus aku tempuh. Tapi aku belum menemukan ‘dia’! Tunggu.. tadi rasanya aku melihat seorang lagi gadis, tapi siapa?

“Hei.”

Mendadak, sebuah suara lembut dari belakang menyapaku. Aku menoleh untuk membalasnya.

“Hai.. siapa kamu?”
“Justru aku yang ingin bertanya seperti itu padamu! Dimana-mana pendatang itu orang yang ditanya lebih dulu, bodoh!”

Agak galak, sepertinya, tapi sangat cantik. Matanya hijau, rambutnya pirang panjang dan terlihat agak kebarat-baratan.

“Hei, tak perlu terlalu galak begitu.. baiklah, aku Jack, orang baru disini, pemilik-“
“Ya, ya, aku sudah tahu itu, tak ada gunanya menjelaskan hal yang aku sudah tahu. Aku Karen. Aku tinggal di sana, di toko. Ayahku yang mengurus toko itu. Tapi jangan sekali-sekali datang kesana hanya untuk menggangguku ya!”
“Hah? Mengganggu? Lalu kenapa kamu menyapaku duluan?”
“Menyapamu? Bu-bukan untuk mendekatimu kok. Aku hanya ingin menunjukkan sedikit kesopanan. Yah, lagipula seorang pendatang harus disapa duluan kan? Jadi.. ah, tapi tetap saja!”
“Ya sudah. Aku-ups!!!!!”

Saat aku ingin berjalan, tiba-tiba aku tersandung batu (atau batu itu yang menyandungku? Sialan) dan jatuh.. ke arah Karen. Tanganku tiba-tiba bergerak refleks ke arah yang tidak semestinya, mencari pegangan. Dan tanganku tiba-tiba merenggut baju Karen. Namun, itu tidak menghentikan aku jatuh dan.. Wreekk!! Baju Karen malah robek karena terenggut oleh tanganku.

Karen, tentu saja, terlihat sangat marah. Oh tidak, ini bukan situasi yang bagus. Aku langsung bangkit berdiri, mencoba kabur tapi sudah terlambat.

“Kamu….”
“Tu-tunggu dulu, Karen! Aku bisa jelaskan..”
“Tak ada maaf bagimu!!!!!!”

Duakk! Karen langsung memukulku di perut. Sakit sekali, ternyata seorang gadis juga bisa memukul lebih keras dibandingkan laki-laki. Aku terbaring di tanah, memegangi perutku. Karen bergegas pergi sambil mendengus.

“Huh! Jangan ganggu aku lagi!”

Setelah dia pergi, aku kembali berdiri. Sebenarnya dia sangat cantik, tapi.. uhh, dia galak juga. Sambil memegangi perutku yang masih sakit, aku kembali berjalan pulang. Cukup sudah untuk hari ini. Mungkin besok, atau kapan-kapan akan kulanjutkan. Tapi anehnya, hati kecilku sejak tadi terus berkata bahwa Karen itu ‘dia’. Apa itu benar?

Bisa jadi, bisa jadi tidak.

Blogger Statistic

Blog Teman

Hell Crew

About Me

Foto Saya
Deny Saputra
A player of world, nerd, disguiser, and a scholar of SMAN 12 Jakarta. For further information: denyjfp@gmail.com
Lihat profil lengkapku